18th Pole

31.1K 3.7K 546
                                    

A/N

Chapter ini berhubungan sama chapter-chapter sebelumnya. Jadi, kalo nggak mau bingung, lebih baik baca ulang dulu dari awal atau minimal dari chapter 9 hehe.

Thank you dan maaf merepotkan^^

18th POLE

~~||~~

"Lo hobi banget ya kayaknya nongkrong malem-malem di teras belakang sambil minum coklat panas."

Ucapan Rahagi mengejutkan Inara yang sedang menikmati secangkir coklat panas. Tubuhnya dibalut jaket tebal berwarna abu-abu. Lelaki itu duduk di sebelan Inara. Rambutnya acak-acakan, tampangnya kusut, dan–untungnya–tidak topless sehingga Inara masih bisa bernapas normal.

"Ngapain coba malem-malem di sini. Dingin. Ntar sakit," kata Rahagi. Memang, baju yang ia kenakan tidak begitu tebal. Dengan kaos tipis dan celana pendek selutut yang ia kenakan, Rahagi bisa merasakan angin malam menusuk permukaan kulitnya.

"Makanya gue pake jaket. Btw, tumben. Perhatian. Kayak bukan lo," ucap Inara kemudian menyesap coklat panasnya yang sudah mulai dingin.

Rahagi hanya diam.

"Kenapa? Tentang cewek yang tadi?" tanya Inara. "Sampai nggak bisa tidur?" tanyanya lagi seraya melirik Rahagi melalui ujung mata. Gadis itu tidak berharap Rahagi mau bercerita. Sepertinya, kehadiran perempuan tadi membuka luka lama yang mendalam.

Baru saja Rahagi ingin membuka suara, Inara langsung berdiri dengan cangkir yang sudah tak bersisa isinya.

"Di sini dingin. Kalo mau cerita di dalam aja."

"Geer aja lo. Siapa juga yang mau cerita." Rahagi mendengus kemudian ikut berdiri.

Inara terkikik. "Kelihatan tahu, dari muka lo." tawa gadis itu masih terdengar, mengiringi langkahnya memasuki rumah.

Rahagi terdiam. Mematung seraya menatap punggung Inara melalui jendela yang menghubungkan teras belakang dengan dapur. Sejak kapan raut mukanya menjadi begitu mudah ditebak? Rasanya, ia sudah kehilangan Rahagi yang selalu bermuka datar.

# # #

Inara memperhatikan Rahagi yang duduk di sofa ruang tengah dengan gusar. Gadis itu baru saja selesai mencuci cangkir. Setelah mematikan lampu dapur, gadis itu menghampiri Rahagi dan duduk di sebelahnya.

Hening.

Tidak ada di antara mereka yang bersuara. Hanya suara televisi yang digonta-ganti siarannya, yang mengisi kekosongan di antara mereka.

"Nara."

Inara sedikit tersentak. Rasanya, ini pertama kali Rahagi memanggil namanya. Atau ia salah? Sebab, terasa asing di telinganya.

Gadis itu menoleh. Didapatinya Rahagi tengah memandang lurus ke depan–tanpa repot meliriknya barang sedetik pun.

"Dia Vara. Mantan gue."

Ujung bibir Inara tertarik. Meski sudah bisa menebak, tetapi gadis itu tetap senang karena kakak tirinya itu akhirnya mau bercerita.

"Gue benci dia. Tapi, perasaan gue ternyata masih belum berubah."

Dengan ragu, Inara menepuk pundak Rahagi beberapa kali.

"Terus, kenapa lo benci dia?"

Cukup lama Rahagi terdiam. Baru saja Inara akan mengatakan bahwa Rahagi tidak perlu menjawabnya, lelaki itu langsung membuka suara.

"Dia selingkuh. Sama mantan sahabat gue. Calvin Gavino."

Inara terdiam. Mendengar nama itu, rasa kesal yang selama ini ia pendam kembali muncul. Sejujurnya, ia belum bisa memaafkannya.

AntipoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang