52nd Pole & QnA#2

27.9K 3.3K 687
                                    

52nd POLE

~~||~~

Inara tersenyum puas melihat desain layout majalah SMA Integral yang akan dikeluarkan di akhir Juli ini. Rencananya untuk mengangkat nama Blackpole kini bukan sekedar angan-angan.

"Bagus, Ke!" puji Inara seraya mengalihkan wajahnya dari layar komputer, menatap Aneke yang duduk di sebelahnya sambil tersenyum senang.

"Tinggal masukin foto-foto kegiatan Blackpole sebagai bukti, Na." Aneke menumpukan dagunya di telapak tangan kanannya.

Mereka berdua sedang berada di labor komputer. Inara meminta kesediaan Aneke untuk memasukkan satu artikel mengenai fakta tentang Blackpole di majalah sekolah.

Setelah melewati kebimbangan–harus memajang fakta tentang Blackpole di mading sekolah atau di majalah, Inara memilih majalah sekolah yang terlihat lebih bergengsi. Hal itu diputuskannya juga berdasarkan saran Sabrina.

"Mading sekolah nggak tahan lama."

Begitu yang diucapkan Sabrina.

"Tadi pagi gue udah nyamperin Paul ke kelasnya. Katanya doi pernah foto kegiatan Blackpole secara diam-diam dulu. Untung doi nggak bego kayak gue–yang nggak kepikiran sama sekali buat ngefoto kegiatan Blackpole."

"Syukur deh. Lo nggak bego, Na, cuma kelupaan aja." Aneke terkekeh.

"IDIH!"

Tiba-tiba, pintu labor komputer terbuka, menampilkan Sabrina dengan kostum cheers-nya. Jam bubaran sekolah sudah berlalu beberapa menit yang lalu. Murid-murid sudah pulang, dan menyisakan siswa-siswi yang ada jadwal ekskul atau yang aktif di organisasi.

"Kenapa, Sab?" tanya Aneke dengan pandangan mata yang mengikuti gerakan Sabrina hingga perempuan itu duduk di sebelah kiri Inara–karena Aneke sudah duduk di sebelah kanan Inara.

"Masa ya Kylar ngajak gue pacaran. Mana ngomongnya santai banget kayak ngajak beli permen. Random banget tuh orang."

"Siapa tahu dia serius, Sab," ucap Inara.

"Nggak mungkin, Na. Itu pasti buat permainan Truth or Dare nggak jelas itu. udah hafal gue, nggak bakal ketipu."

"Yah, semua orang juga tahu kalau Kylar se-playboy itu." Aneke menganggukkan kepalanya, tanda setuju dengan ucapan Sabrina.

"Ingat." Inara menghela napasnya. "Jangan nilai orang dari apa yang udah dia perbuat, Teman. Siapa tahu dia udah berubah."

"Iya deh, Na, yang bijak," jawab Sabrina malas.

Inara tertawa kecil melihat reaksi sahabatnya itu.

"Nggak yakin gue dia berubah secepat itu," tambah Sabrina.

"Who knows?" Inara menaikkan bahunya, dengan sisa-sisa tawa yang masih ada di wajahnya.

"Btw, lo udah selesai latihan cheers, Sab? Sejam aja belum sampe." Aneke melirik jam berwarna cokelat yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Hari ini cuma nentuin kandidat buat ketua cheerleader tahun ini. Harusnya sih, gue nggak perlu ganti baju jadi seragam cheers. Cuma gue gerah pake seragam."

"Yang cantik mah bebas," komentar Aneke.

"Yoi," tambah Inara.

Lubang hidung Sabrina melebar mendengar ucapan teman-temannya. Ia tahu Aneke sedang meledeknya–meskipun tidak dimungkiri bahwa Sabrina memang cantik.

AntipoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang