48th POLE
~~||~~
"Nara?"
Panggilan seseorang membuat Inara terkejut. Gadis yang sedang menyisir rambutnya sambil menatap cermin itu, lantas berbalik dan menemukan kakaknya, Naya, yang baru bangun tidur menatap ke arahnya.
Tubuhnya masih dibalut dengan bed cover. Rambutnya berantakan seperti singa.
"Udah bangun lo, Kak? Semalem pulang jam berapa?"
Naya langsung menyadari kantong mata yang berada di bawah mata Inara. Mata adik perempuannya itu juga bengkak.
"Semalem lo nangis? Kok bengkak?"
Mata Inara membulat. Gadis itu lantas berbalik dan mendekatkan wajahnya ke cermin.
"Masih jelas ya, Kak? Padahal gue udah pake bedak. Sekali seabad banget nih pake bedak."
Naya berguling ke sisi tempat tidur yang satunya untuk melepaskan diri dari balutan bed cover. Gadis itu duduk di pinggir tempat tidur.
"Kenapa nangis?" tanyanya seraya menatap Inara. "Gue beberapa hari ini sibuk banget, nggak sempat cek sosmed. Pasti masalahnya besar banget. Soalnya kalau masalah kecil, lo nggak mungkin nangis."
Inara berbalik menatap kakaknya.
"Gue ketahuan."
Butuh waktu yang cukup lama bagi Naya untuk menyadari maksud perkataan Inara.
"Ketahuan? Mata-mata?" Naya lantas berdiri dan menghampiri Inara.
Gadis itu memegang lengan Inara.
"Lo diapain sama Blackpole?! Bilang sama gue."
"Mereka kecewa. Itu aja."
Naya menggeleng. "Nggak. Pasti ada yang lain. Lo nggak di-bully, kan, Na?"
"Gue nangis karena udah bikin mereka kecewa, Kak! Lagipula, Inara kan udah jelasin kalau mereka bukan tukang bully."
"Ya ampun...." Naya memeluk Inara. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Di saat-saat seperti ini, Inara masih membela Blackpole. Hal itu benar-benar meyakinkan Naya bahwa sebelumnya Blackpole memang tidak seburuk itu, sampai-sampai adiknya ini menjadi sayang.
Pagi itu, sebelum berangkat sekolah, lagi-lagi pipi Inara dibasahi oleh air mata karena menceritakan reaksi anggota Blackpole.
# # #
Siapa pun tentu bisa menyadari mata panda milik Inara yang kentara. Namun, gadis itu tetap santai berjalan memasuki kelas.
Orang pertama yang berani membahas mata panda itu adalah Sabrina. Gadis itu mencak-mencak karena Inara tidak segera menghubunginya ketika menangis.
"Lo pikir gue siapa, Na?"
Begitu yang dikatakan Sabrina.
Namun, Inara menjelaskan baik-baik bahwa ia juga punya Gafar yang menenangkannya.
"Lain kali telepon aja gue."
Percakapan mereka terputus begitu Pak Joni masuk untuk mengajar matematika wajib.
Saat jam makan siang, Inara memilih untuk tidak keluar kelas. Sabrina dengan sukarela membelikan Inara nasi goreng dan jus mangga.
"Nih!" Sabrina meletakkan sepiring nasi goreng dan jus mangga di atas meja Inara.
"Lo nggak makan?"
"Eh iya lupa bilang, gue mulai sekarang bawa bekal, loh!" Sabrina mengeluarkan kotak bekal berwarna ungu dari dalam laci mejanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antipole
Roman pour Adolescents•Completed• Kita ada di kutub yang berbeda. Sekolah yang terkenal disiplin dan memiliki segudang prestasi bukan tidak mungkin memiliki murid yang nakal dan pembangkang. Luarnya memang begitu, tetapi dalamnya siapa yang tahu? Inara tidak terl...