Lost His Way (13)

7K 920 76
                                    

[Luca]

.

.

Setelah kedatangan tukang kebun itu dalam acara makan malam keluargaku, aku merasa benar-benar tidak nyaman dengan setiap tindakan yang Nagisa ambil. Tidak, bukan berarti aku tidak percaya pada Nagisa, hanya saja aku takut kalau-kalau, tidak, lagi-lagi ia salah mengambil keputusan dan menyakiti dirinya sendiri lagi.

"Daddy, kau menghancurkan rumah Jimmy!" seru Theo yang kedengaran kesal. Aku mengerutkan alisku, menatap Theo dan Theo membalas tatapanku dengan raut muka takut. Aku mengalihkan pandanganku ke keduatanganku dan terkejut melihat rumah dari mainan dough dinosaurus Theo yang ia beri nama Jimmy, hancur. "Maafkan aku, Theo." Ujarku penuh penyesalan seraya memijit-mijit keningku. "Tidak apa, Daddy..." balas Theo. "Aku akan membangun yang baru untuk Jimmy." Ujarku lagi tawaran sebagai rasa bersalah, Theo menganggukkan kepalanya. "Daddy, kau baik-baik saja?" tanya Theo, sesekali melirik ke arahku sambil bermain dengan kaki Jimmy. "Ya, aku baik-baik saja." Aku memberitahunya. "Daddy, bolehkah aku duduk dipangkuanmu?" tanya Theo, aku menggeser dudukku untuk memberinya tempat, Theo beranjak dari duduknya dan duduk di pangkuanku. "Daddy, kenapa tanganmu begitu besar?" tanya Theo. "Supaya aku bisa memegangmu kuat-kuat, mencegahmu agar tidak jatuh." Jawabku. Theo mengambil tanganku dan menempelkan tangannya di atas punggung tanganku. "Daddy, apa aku bisa menjadi sebesar dirimu?" tanya Theo lagi. "Tentu saja, kau bisa." Jawabku. Theo dengan santai mengistirahatkan kepalanya, bersandar ke dadaku. "Kapan kita akan menemui nenek dan kakek?" tanya Theo. "Aku akan bicara dengan Papa," jawabku. "Apa Nenek dan Kakek akan menyukaiku?" tanya Theo, "Kenapa mereka tidak akan menyukaimu?" aku balas bertanya, Theo tidak menjawab apapun, ia hanya bermain-main dengan jariku.

Aku menarik tanganku dan mengangkat tubuh kecilnya lalu mendudukkannya di meja, Theo menatapku lekat-lekat. "Mereka akan menyukaimu sama seperti kami menyukaimu." Ujarku, Theo menganggukkan kepalanya. "Kau mau kuajari membuat tenda rahasia?" tanyaku. "Tenda rahasia?" Theo menatapku penuh ingin tahu. "Ya, sebuah tempat khusus untuk kita berdua." Jawabku. "Papa tidak boleh ikut?" tanya Theo, "Jimmy tidak boleh ikut?" tanya Theo lagi. "Baiklah, mereka boleh." Balasku, Theo tertawa kecil dan memeluk leherku. Aku menggendong Theodore, beranjak dari dudukku berjalan meninggalkan ruang tengah untuk naik ke kamar. "Daddy, kenapa warna matamu biru?" tanya Theo mungkin setelah ia memperhatikanku dari dekat. "Supaya Papa selalu terpesona padaku." Theo tersenyum ketika ia mendengar jawabanku, "apa papa mencintaimu seperti kau mencintai papa?" tanya Theo lagi. Aku menghentikan langkahku dan menatap Theo. "Aku berharap dia mencintaiku seperti aku mencintainya."

Aku membawa Theo ke kamar kami dan melihat Nagisa baru saja selesai menata kemeja dan jas kerjaku.

"Halo, pangeran kecil." Sapa Nagisa ketika ia melihat kami masuk.

"Papa, aku dan Daddy akan membuat tenda rahasia." Ujar Theo. Nagisa mengangkat satu alisnya. "Kenapa harus rahasia?" tanya Nagisa heran. Theo mengalihkan padangannya dari Nagisa ke arahku. "Daddy, kenapa itu harus rahasia?" bisik Theo. "Karena itu adalah satu-satunya tempat untuk bersembunyi ketika papa marah karena kau tidak mau mencuci boneka kelincimu." Bisikku balik, Theo menekuk wajahnya dan mencubit pipiku, membuatku tertawa geli. "Aku tidak begitu!" bantahnya kesal.

Nagisa menghampiri kami dan menatapku lekat-lekat, "apa yang Lu-chan katakan??" tanyanya. Aku menunduk sampai setinggi badannya dan membisikkan hal yang sama. "Pfftt..! Ahahahaha." Nagisa pun tertawa.

Aku meminta Nagisa menyiapkan beberapa selimut untuk membangun tenda kecil Theo. Setelah mendapatkan lima potong selimut yang lebar, aku mengambil tongkat kayu yang sudah kusiapkan dan menempatkannya sebagai tiang penyangga atap-atap selimut yang diikatkan ke tempat tidur dan kusen jendela.

The Love That Lost His Way [ 4 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang