Lost His Way (52)

7.3K 946 91
                                    


[Luca]

.

.

Aku menatap jam tanganku yang menunjukkan pukul lima sore. Masih ada waktu sebelum makan malam dan aku bermaksud untuk menjemoput ibu. Jika ibu sungguh bermaksud untuk berubah, betapa tenangnya diriku mengetahui satu sumber masalah telah lenyap. Kekhawatiran terbesarku adalah jika ibu melakukan sesuatu pada Nagisa. Aku tahu bagaimana ibu dan aku tidak ingin apa yang aku bayangkan menjadi kenyataan.

"Presdir, anda sudah selesai hari ini?"

"Ya, aku akan pulang sekarang. Telepon supirku untuk bersiap-siap."

"Baik, Presdir."

Sambil berjalan menuju ke lift sampai ke lantai bawah, aku kembali memikirkan langkah selanjutnya. Semuanya telah berjalan sesuai rencana, rencana pembangunan pelabuhan, pertambangan minyak dan restoran di Tokyo sampai saat ini berjalan dengan lancar. Namun itu saja belum cukup, aku tidak boleh merasa senang atau puas lebih dulu, karena aku juga harus memikirkan bagaimana aku membersihkan semua sampah dari hadapanku sebelum aku benar-benar merasa puas.

Ding! Pintu lift pun terbuka, aku berjalan keluar dari lift dan melihat mobilku telah siap di depan pintu utama perusahaan.

"Aku akan mampir ke rumah ibu."

"Baik, Tuan Besar."

Supir baruku menutup pintu mobil setelah aku berpesan dan masuk ke dalam mobil. Tidak lama kemudian, mobil melaju pergi meninggalkan perusahaan untuk menjemput ibu.

Memasuki musim dingin, langit London seringkali memakai warna abu-abu dibanding biru. Aku tidak benci warna abu-abu, aku sangat menikmati musim dingin. Ya, aku mencintai musim dingin.

Mobil berhenti di depan pintu utama kediaman Fearbright. Seorang pelayan bergegas menghampiri mobil dan membukakan pintu mobil untukku. Saat aku keluar dari mobil aku melihat dua mobil lain yang tak asing terparkir di halaman.

"Selamat datang Tuan Muda."

Aku melangkah masuk ke dalam, berhenti sejenak membiarkan para pelayan menanggalkan mantelku. Lalu berjalan didampingi oleh mereka menuju ke ruang keluarga.

"Tuan Besar, Tuan Muda telah tiba," ujar seorang pelayan memberi tahu Ayah dan Paman Elbert kedatanganku. Tentu saja, Elbert tidak menyambutku dengan ramah. Ayah menoleh ke arahku sekilas, ia kemudian kembali menatap ke lembaran kertas di tangannya.

"Di mana ibu?" tanyaku pada si pelayan.

"Nyonya besar sedang pergi ke salon."

Aku melangkahkan kakiku menghampiri sofa di mana ayah duduk, mengambil tempat di samping ayah sedangkan Elbert duduk di hadapannya.

"Tidakkah menyenangkan untuk datang terlambat dan pulang lebih awal, Luca?" Elbert dengan sinis menatapku lalu tertawa. Aku tidak mengatakan apa-apa menanggapi ucapannya. Apa dia bermaksud untuk menjadi sarkas? Jangan membuatku tertawa.

"Sebegitu angkuhnya dirimu sekarang, keponakanku." Elbert lagi-lagi bercuap kosong. "Austin, aku tahu sejak awal bahwa bukan ide yang baik membiarkan Luca mengambil alih perusahaan. Bagaimana pun juga dia sama sekali tak punya aturan."

"Paman Elbert, aku kemari bukan untuk mendengar omong kosongmu. Kalau kau pikir putramu yang mabuk-mabukan di bar dan klub malam bersama seorang prostitusi lebih baik dariku, maka buktikan. Tong kosong memang paling nyaring berbunyi."

"Luca, jaga bicaramu."

"Ayah, jangan tutup matamu atau kau benar-benar akan menyesal."

Aku menatap Elbert, ia menggertakkan giginya dan menatapku dengan sangat kesal. Sebaliknya Ayah tampak tidak begitu tertarik ikut campur.

The Love That Lost His Way [ 4 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang