Lost His Way (17)

6.1K 903 198
                                    


[Luca]

.

.

Setelah hampir pukul lima sore, Nagisa akhirnya kembali. Dia benar-benar pergi bersama tukang kebun itu. Aku memperhatikan dari balik jendela di samping pintu masuk, bagaimana pria itu menurunkan semua belanjaan Nagisa. Mereka bercakap-cakap sebentar lalu ia menepuk kepala Nagisa, tersenyum ringan dan kembali naik ke mobilnya.

Para pelayan menyambut Nagisa sementara aku kembali ke ruang tamu depan. Aku menarik napas panjang dan menghela napas keluar perlahan. "Seorang pria baik bicara dengan baik, dengarkan dengan baik, tidak meninggikan suara dan tidak mengungkapan amarahnya secara berlebihan," aku bergumam pelan, mengulang-ulang kata-kataku.

"Lu-chan, kau sudah pulang?" tanya Nagisa ketika ia akhirnya masuk ke ruang tamu. "Eloise, bisakah kau menata semua belanjaannya di kamarku? Ah, Grace, tolong antarkan Ecchan istirahat." Perintah Nagisa seraya menyerahkan Ecchan ke gedongan Grace. Setelah pelayan itu pergi, Nagisa menghampiriku, mengambil jas dan tas kerjaku. "Lu-chan, maafkan aku tidak sempat memberi tahu kalau aku pergi dengan Johan," ujar Nagisa.

"Itu tidak seperti ijinmu tadi pagi," aku menatap Nagisa. Nagisa menganggukkan kepala, "setelah aku pikir-pikir, mobil kita tidak cukup luas untuk mengangkut semua belanjaan ini." Aku rasa itu masuk akal, bagasi mobilku tak sebesar mobil tukang kebun yang seperti truk mini.

"Lu-chan, kau marah?" tanya Nagisa. Aku menggelengkan kepalaku. "Tidak, kau benar soal bagasi yang terlalu kecil," jawabku. Nagisa menatapku terkejut dan cepat-cepat menghampiriku, duduk di sebelahku, menatapku heran. "DI telepon kau kedengaran marah," ujar Nagisa. "Aku marah karena kau tidak memberitahuku kalau kau merubah rencanamu," jawabku. "Aku bermaksud memberitahumu nanti," jawab Nagisa.

"Lu-chan, kau pasti lelah bukan? Aku akan segera menyiapkan makan malam." Nagisa mengecup pipiku lalu beranjak pergi dari ruang tamu. Setelah Nagisa menghilang, aku menghela napas panjang. Mungkin aku terlalu sensitif soal mereka. Aku harus belajar untuk mempercayai Nagisa. Aku tidak ingin bertengkar dengannya lagi karena masalah-masalah sepele.

Ketika aku hendak pergi ke lantai atas dan mengganti kemeja kerjaku, aku melihat Nagisa berdiri memojok di samping kamar kosong lantai bawah. Aku menghampiri Nagisa untuk melihat apa yang sedang dia lakukan.

"Ya, tidak apa-apa, hehehe. Terima kasih banyak untuk hari ini!"

Ketika aku mendekatinya, aku bisa mendengar apa yang ia katakan. Ia sedang menelpon seseorang. Siapa yang ia telepon sampai-sampai ia masih membawa jas dan tas kerjaku.

"Tidak, tenang saja. Dia tidak marah, ya.. terima kasih sudah mengkhawatirkanku."

Aku mengerutkan alisku ketika aku bisa menduga dari pembicaraan mereka, siapa yang ia telepon. Aku mundur ke belakang dan meninggalkan Nagisa yang masih bicara di telepon. Sambil menaiki satu persatu anak tangga, aku bergumam pada diriku sendiri.

"Seorang pria baik bicara dengan baik, dengarkan dengan baik, tidak meninggikan suara dan tidak mengungkapan amarahnya secara berlebihan..."

"Pada era modern ini seorang pria yang baik punya standard tinggi, ia harus bijak, harus bermoral, dan terhormat. Ia tidak boleh menggunaakan kata-kata kasar, harus bertanggung jawab, perbuatan dan perkataannya harus selaras, harus memenuhi kebutuhan seorang wanita, harus—"

"Daddy!"

Aku menghentikan gumamanku ketika mendengar Theo memanggilku. Theo berlari menghampiriku dan menunjukkanku buku gambarnya. "Daddy, bagaimana? Aku sudah lebih baik, bukan?" tanya Theo. Aku memandangi gambar Theo dan menemukan beberapa warna yang keluar dari garisnya. Itu sangat tidak rapi dan tidak seharusnya ia mewarnai sekotor ini.

The Love That Lost His Way [ 4 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang