[Luca]
.
.
"Daaddyy! Baaaanggguuuuunnn!!"
Setelah seruan yang keras terdengar, detik berikutnya sesuatu yang cukup berat mendarat jatuh tepat di perutku.
"AAAARGGGHH!!" pekikku marah lalu membuka kedua mata ini lebar-lebar untuk melihat siapa yang berani mengganggu tidurku. "Daddy, bangun! Papa bilang kau punya waktu tiga puluh menit sebelum Peter datang menjemput." Theo memberi tahuku, masih dengan berbaring di atas perutku. Aku mengarahkan pandangku ke jam dinding, jarum jam yang besar menunjuk di angka tujuh dan yang kecil di angka tiga.
"GAWAT!"
Aku mengangkat Theodore bangun dan menyeretnya turun dari kasur bersamaku. Semalam aku pulang ke rumah sekitar pukul dua, lalu mengerjakan pekerjaanku sampai pukul empat, baru setelah itu aku pergi tidur.
"Theodore, aku akan siap-siap, kau tunggulah di bawah." Theo menganggukkan kepalanya dan berlari keluar dari kamar sambil berteriak, "Papa! Aku sudah membangunkan Daddy!"
Aku segera membasuh mukaku, memastikan hari ini tidak ada bulu kumis. Setelah memastikan tidak perlu cukur, aku segera menggosok gigi dan kumur. Selesai menggosok gigi dan kumur, aku bergegas mengganti piyama dengan setelan jas kerjaku. Selesai berganti pakaian, bergegas mengambil wax rambut, merapikan rambutku dengan menyisirnya rapi ke belakang.
"Daaadddyyy, Peter sudah dataaaaang!!" seru Theo dari luar kamar sebelum ia akhirnya masuk ke kamar. "Daddy! Peter sudah datang!" seru Theo lagi. "Aku mendengarmu, Theodore," jawabku seraya merapikan dasiku di depan cermin full-body lemari pakaian.
Aku melihat Theo berjalan menghampiriku dan berdiri di sampingku.
"Daddy, kapan aku bisa jadi tinggi sepertimu?" tanya Theo, salah satu tangannya memegangi celana panjangku. "Lima belas tahun lagi kau akan," jawabku. "Daddy, apa aku akan memakai pakaian yang sama seperti Daddy jika aku sudah besar nanti?" tanya Theo. "Kalau kau mau," jawabku kemudian berlutut di depan Theo untuk merapikan seragamnya.
Setelah siap, aku menggandeng Theo bersamaku dan meninggalkan kamar. Aku melihat Nagisa sedang mencoba untuk bangun dari kursi roda. "Nagi, tidak perlu memaksakan diri," tegurku. Nagisa menatapku dan memberiku senyuman lemah. "Aku tidak ingin merepotkan Lu-chan terlalu lama," jawab Nagisa. "Tapi kalau kau memaksakan diri dan berakhir lebih fatal, itu akan membuatku semakin repot."
"Papa, aku berangkat dulu." Theo menghampiri Nagisa yang sudah kembali duduk di kursi rodanya. Theo berjingkat dan Nagisa menunduk supaya Theo bisa mengecup pipinya. "Selamat bersenang-senang dan jadilah anak baik ya," pesan Nagisa. "Ya, Papa!" jawab Theo. Aku berganti menghampiri Nagisa, mengecup bibirnya lembut. "Aku berangkat," pamitku. "Hmph, hati-hati di jalan." Nagisa membalas pamitku. Aku mengambil tas kerjaku sebelum benar-benar berangkat.
"Ah! Lu-chan!"
"Ya?" aku menghentikan kakiku dan berbalik menatap Nagisa yang tiba-tiba memanggilku. "Lu-chan, boleh aku mengantar bekal makan siang? Lu-chan belum sempat sarapan, bukan?" tanya Nagisa. "Hari ini aku ada acara makan siang bersama tamu lain, jadi tidak perlu repot-repot," jawabku. "B-Begitu...ya," balas Nagisa.
Mungkinkah dia masih merasa bersalah...?
"Theodore, masuklah ke mobil lebih dulu," perintahku. Theo berlari meninggalkanku, sementara aku berjalan menghampiri Nagisa, berlutut di depannya. "Kalau kau tidak keberatan aku ingin ada dessert Eton Mess, kau tahu resepnya? Raspberry, stroberi, blueberry, lalu kue tart dengan almond ditambah krim dan sirup lemon." Nagisa menaikkan satu alisnya ketika ia mendengarku menyebut menu penuh kadar gula.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Love That Lost His Way [ 4 ]
RomanceNagisa kembali ke Inggris bersama Luca, suaminya untuk memulai kehidupan rumah tangga mereka dengan mengadopsi anak seperti permintaan Nagisa. Kehidupan mereka bahagia dan sempurna. Suami yang begitu mencintainya, anak manis sesuai yang ia inginkan...