TWELVE

155 10 0
                                    

"Kenapa kamu bisa sama Genta?!" suara Diana meninggi.

"Mobil aku tadi mogok, Ma,"

"Terus harus sama Genta?"

"Dia kebetulan lewat," kata Nadine mulai beralasan seadanya.

"Kenapa nggak pernah cerita kalau kamu ketemu sama laki-laki itu?" lagi-lagi Diana mulai membuat Nadine kesal.

Nadine yang sedaritadi asik melahap makanannya langsung menatap Diana dengan tatapan kesal. "Kenapa aku harus cerita?"

Diana terperangah dengan balasan Nadine. "Kamu harus ingat apa yang dia perbuat ke kamu dulu, Nadine!" bentak Diana.

"Mom, can we just enjoy our late lunch? Kalo Mama mau marah sama Nadine bisa nanti, kan? Kita kesini tujuannya mau makan bersama," sela Owen membuka suara untuk yang pertama kalinya.

Best bro ever! Batin Nadine.

Nadine melirik Owen sambil tersenyum seakan-akan menatap sang kakak dengan tatapan makasih-banyak-kak

Diana tidak lagi bersuara tentang Genta. Dia mengalihkan pembicaraan tentang kehamilan anak pertama Laura yang baru berusia lima minggu.

Nadine hanya berperan sebagai pendengar setia. Sampai saat Austin mengangkat suara tentang Reynaldi.

"Kenapa kamu sama Rey bisa sampe batalin pernikahan kalian?" tanya Austin yang duduk di samping kiri Nadine.

Nadine enggan menjawab pertanyaan dari Austin.

"Jillian," panggil Austin

Nadine menoleh sebentar kemudiam membalas, "Kita nggak cocok,"

"That's all?" tanya Austin mengernyitkan kedua alisnya.

"Hm,"

Sungguh. Nadine tidak ingin memunculkan sisi overprotective kakak ketiganya ini. Cukup saja Owen yang sedaritadi melempar tatapan aku-tunggu-penjelasan-kamu. Kemudian, Arthur yang terlihat sedang berpikir keras tentang mungkin 'bagaimana cara membunuh Genta Baskoro'.

Jangan sampai Austin ikut-ikutan.

"Besok sibuk?" tanya Austin.

"Iya,"

"Dinner with me?" tawar Austin lembut pada Nadine.

Typical Austin Sasrowidjaja.

"Kakak biasanya juga sibuk kok ngajak aku makan malam?"

"Karena kakak pikir akhir-akhir ini adik kecil kesayangan kakak sedang lepas kendali. Am i right?" ujar Austin pelan sehingga hanya bisa didengar oleh Nadine.

Nadine tersenyum. Austin memang tipikal pria yang cukup manis pada wanita. Wanita mana yang tidak terpanah padanya jika dia saja sebuah paket komplit. He's so suamiable.

"Jam berapa?" tanya Nadine akhirnya.

Senyuman sang kakak langsung merekah. "Delapan?"

"Fix!"

***

Sialnya sepulang dari acara makan siang bersama itu Nadine diperebutkan oleh keempat kakak-kakaknya. Mereka semua berebut ingin mengantarkan Nadine pulang sekalian ke bengkel mengecek mobil Nadine.

Genta sudah mengurus mobil Nadine tadi siang. Tadi Nadine baru mendapat line dari Genta.

"Udah deh ya, kayak anak kecil banget sih kalian," bentak Nadine sebal.

"Pulang sama aku, Nadine," tegas Arthur dengan nada tajamnya.

"Hari ini kamu harus pulang sama aku," sela Owen tak terima.

"Nadine, sepertinya kamu mau kalo bareng kakak, kan?" bujuk Austin manis.

Sialan!

"Nadine pulang bareng kakak ceweknya aja ya, kakak pengen singgah apartemen Nadine sebentar," ujar Laura seketika menyeret tangan Nadine.

"Besok, Nadine!" kata Austin dengan suara mengingatkan.

Nadine agak sedikit lega setidaknya Laura lah yang membawanya.

Di dalam mobil, Laura menyuruh supirnya untuk pulang lebih dulu karena dia akan berkunjung ke apartemen Nadine dulu.

"Aku take care kok. Nanti malam biar kamu go-food aja, ya?" kata Laura pada Jeremia suaminya

"..."

"Iya, see you, darl,"

Nadine hanya bungkam sedaritadi. Tidak berani bicara pada Laura.

"Kenapa nggak pernah cerita sama kakak, Nad?" tanya Laura dengan lembut saat mereka tengah duduk di sofa dekat jendela balkon.

"Rey atau Genta?"

"Both of them,"

"Aku rasa masalah Genta itu bukan masalah karena kita hanya sebatas teman lama yang ketemu lagi dan kebetulan satu kantor," jelas Nadine.

Laura tersenyum. "Kebetulan atau memang sudah direncanakan, Nad?"

Nadine terdiam. Laura selalu saja bisa membuat Nadine terdiam.

"Gimana sama Rey? Dia kenapa sama kamu?"

"Kita nggak cocok,"

"Apa alasan kamu bicara kayak gitu? Kalau nggak cocok kenapa kemarin sampai mau nikah?" sungguh Laura sangat mengintimidasi.

"Aku juga ga tau, kak,"

"Dia itu masih terjebak sama masa lalunya, Nad," ujar Laura.

Nadine mengerutkan kedua alisnya. Masa lalu?

"Maksud kakak?"

"Anna,"

"Anna?"

"Inget Anna Nasution?" kata Laura.

Nadine semakin tidak mengerti arah pembicaraan Laura. "Nasution itu kan kak Jere, suami kakak," kata Nadine.

"Iya. Anna Nasution adik ipar kakak,"

"Arsitek di Berlin itu 'kan?"

"Yes,"

"Terus?"

Laura diam sejenak kemudian melanjutkan. "Anna itu mantan kekasih Rey, Nad," tandas Laura.

Nadine membeku seketika.

Proyek Berlin. Batin Nadine.

As You Are Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang