SIXTEEN [NADINE]

135 11 0
                                    

Aku membuka pintu apartemenku dengan pikiran kosong. Entah mengapa sayap mariposaku yang tadi membentang indah seketika menjadi loyo saat notifikasi akun instagramku berbunyi.

Rey.

Dia mengunggah foto bersama dengan seluruh rekan kerja proyeknya. Bukan itu. Di foto itu, ada Anna.

Proyek Berlinnya sepertinya sebentar lagi selesai.

Entah mengapa rasa pedih masih menghinggap di dalam hatiku. Haduh nambah deh empedu di hati ane. Aku sepertinya harus mengecek asuransi kesehatanku siapa tahu aku meninggal karena kelebihan produksi empedu di hati. Alay deh, Nad.

Tolong jelaskan padaku kenapa aku masih sakit hati ketika Rey terlihat bersama Anna walaupun belum resmi. Tetapi, kenapa aku tadi merasa sangat gugup karena senang ketika turun dari mobil tadi Genta berkata, "See you, Nad. Perjuangan dimulai besok."

Hatiku mendua.

Aku bingung!

Setidaknya aku bisa lega karena dulu aku tidak jadi mengambil jurusan psikologi. Jika sekarang aku seorang psikolog dan ada orang yang tahu bahwa seorang psikolog mengalami gangguan jiwa kan tidak lucu.

Ponselku berdering.

Siapa lagi kalau bukan si pejuang hati.

Genta.

Aku menggeser ikon hijau di layar ponselku.

"Besok jam enam." kata Genta dari seberang.

"Gila lo. Jam ngantor itu jam delapan ngapain kerajinan berangkat jam enam?" Genta tidak waras. Mana mau aku bangun jam enam hanya untuk ke kantor.

Maaf kata nih ya. Tapi, aku bukan seorang workaholic yang rela jam tidur berkurang karena kerjaan. Oho sungguh tidak bisa.

"Sarapan bareng, Nad."

"Dimana? Apa nggak kepagian gitu berangkat jam enam?"

"Pokoknya jam enam ya."

"Yo ya yo ya. Ogah gue." tolakku

"Nah kan lo nggak mau gue perjuangin." kata Genta sendu dari seberang. Sumpah aku geli mendengar nada bicaranya yang terkesan dibuat-buat.

"Apa sih, Gen. ABG labil banget,"

"Jam enam ya?"

"Harus banget jam segitu ya?"

"Iya lah."

Genta ini niat sekali untuk berjuang. Tapi, apa harus jam segitu udah siap? Jam enam pagi itu aku masih berkelana di dunia mimpi. Tapi, mau gimana lagi?

"Oke deh." jawabku akhirnya.

"Oke."

"Hm. Gue tutup ya?"

"Eh. Nad?"

"Kenapa?"

"Lo belum jawab pertanyaan gue."

"Pertanyaan apa?" aku gugup. Sungguh. Jika pertanyaan itu yang dimaksud oleh Genta, aku masih bimbang.

"Lo mau 'kan kalo gue berjuang dapetin lo lagi?" tanyanya dari seberang.

Mampus lo, Nad. Jawab apa?

Aku masih belum bisa rela melihat Rey dan Anna bersama tapi di sisi lain aku masih selalu berdebar-debar saat bersama Genta. Aku egois. Ya. Tapi tolong bantu aku menjawab pertanyaan Genta kali ini.

"Nad?"

"Hm?"

"Gimana?"

"Lo ga lagi april mop atau ngeprank gue kayak dulu 'kan, Gen?" tanyaku ragu saat aku kembali mengingat perbuatannya masa SMA dulu.

"Gue serius, Nad. Lagipula ini kan Desember nggak mungkin gue april mop."

Iya juga. Ini bulan Desember. Bulan banyak diskonan di Mall. Maklum cyin wanita memang begini adanya.

"Oh iya Desember."

"So?"

"So, masih berjuang 'kan?" tanyaku.

Si bodoh! Nanya begitu maksudnya apa, Nad?

"Iya." suaranya terdengar agak lesu. Apa itu hanya perasaanku saja?

"Okay."

"You mean it's a yes?"

"Yes."

Dalam hati aku berdoa. Semoga ini keputusan yang benar membiarkan Genta memperjuangkanku. Aku rindu merasakan rasanya diperjuangkan seseorang bukan memperjuangi seseorang yang tak ingin diperjuangi.

And it's begin...

As You Are Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang