TWENTY THREE [NADINE]

153 6 0
                                        

Setelah tadi membahas tentang Dini, entah kenapa rasanya moodku anjlok! Marah? Mungkin. Iri? Sudah pasti. Aku selalu iri pada sosok Dini yang bahkan sampai saat ini terus punya ruang spesial di hati Genta. Bahkan, setelah delapan tahun aku belajar melupakan Genta, pria itu masih tetap sama seperti dulu.

Awalnya saat bertemu Genta lagi beberapa bulan lalu untuk pertama kalinya, aku pikir aku sudah melupakan pria brengsek itu. Tapi, nyatanya usahaku selama delapan tahun itu sia-sia belaka. Aku goyah lagi.

Bagaimana bisa seorang Maximillian Baskoro bisa sangat mempengaruhi seorang Nadine?

"Sial! Sial! Sial! Hidup gue nggak pernah nggak sial," gerutuku pada diriku sendiri sambil mengacak-acak rambutku.

"Nggak bisa apa ya sekali aja dapet cowok yang bener dikit?"

"Nggak Rey, nggak Genta. Semua sama!"

Aku hanya bisa mengutuk diriku sendiri semalaman. Aku sedang tidak mood untuk ngebooze karena sudah pasti Genta bisa tahu. Tahu darimana? Entahlah. Tapi, yang pasti pria itu punya banyak mata. Entah kenapa juga, aku tidak mau jika Genta tahu bahwa dirinya mabuk-mabukan lagi. Rasanya malu.

***

Keesokan paginya, aku terbangun dalam keadaan yang masih sama seperti semalam. Pakaian kantor masih menempel di tubuhku. Ah, aku sepertinya ketiduran semalam.

Jam sepuluh akan ada meeting tentang proyek yang berkaitan dengan perusahaan milik Rey. Ya, bertemu lagi kita. Tapi, kenapa aku bahkan tidak gugup? Aku gugup jika harus bertemu Genta. Masih sakit hati sih sebenarnya.

"Udah sadar?" tanya seseorang.

Aku terkejut sambil menatap seorang Genta yang ada di apartemenku dengan celemek Mickey Mouse yang menempel di tubuhnya. Apa-apaan ini?!

"Genta?!" aku membulatkan mataku.

"Selamat pagi, Nyonya," sapa pria itu dengan senyuman khasnya dengan bibir yang membentuk hati itu.

"Kok lo bisa masuk disini?"

"Gampang,"

"Lo bobol pintu apartemen gue?!" tuduhku langsung bangun dan mengecek pintu apartemenku. Aman.

Genta menghampiriku kemudian menarik tanganku dan membawaku ke meja makan. Sepertinya dia masak. Telur dadar dan nasi goreng. Nice.

"Cobain deh. Enak, nggak?" pinta Genta.

Aku menatapnya sebentar kemudian menyanggupinya. Aku meraih sendok yang sudah ditata di samping piring kemudian menyuap sesendok. "Not bad." komentarku.

"Is that all?" tanyanya tak terima.

Aku tertawa melihat ekspresi pria brengsek di hadapanku. Dia marah hanya karena aku bilang masakannya 'not bad'.

"Iya. Pas kok." ulangku.

Genta mendesah frustasi. Aku melihat ke sekeliling kitchen set. Kapal pecah. Sepertinya Genta memang bersusah payah memasakkannya untukku. Aku tersenyum geli memikirkannya.

"Yaudah, minum jusnya dulu," katanya menyodorkan segelas orange juice padaku.

"Thank you, Chef," kataku padanya.

Dia tersenyum sambil kemudian beranjak dari kursinya dan melepaskan celemek. Aku pun mengikutinya ke arah sofa ruang tamu. Pagi ini dia terlihat tampan seperti biasanya. Celana kain hitam dan kemeja biru navy.

"Siap-siap gih. Aku tungguin kamu," katanya.

Tunggu.

Tadi sepertinya ada yang berbeda dari ucapannya. Aku? Kamu?

"Hah?"

"Nanti telat loh, Nad. Jam sepuluh ada meeting,"

Aku manggut-manggut heran. Genta kesambet setan mana bicaranya beda kayak gitu. Beda tapi jujur aku suka. Pria brengsek itu memang yang paling handal.

As You Are Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang