FOURTEEN [NADINE]

184 13 28
                                    

Aku melangkahkan kakiku turun dari mobilku yang sudah terparkir cantik di area parkir aula gedung. Malam ini aku mendatangi acara pernikahan teman lamaku saat SMA dulu yang kebetulan masih sering berkabar-kabari lewat instagram.

Baru saja menginjakki pintu masuk, di depan mataku sudah terbentang lautan para sejoli yang sedang memadu kasih. Tepat di depanku sekarang ada seorang wanita mungil tengah bergelayut manja di lengan sang kekasih. Akika kapan, Ndoro? Nasib ditinggal calon suami ya gini deh.

"Asik ya, Sal. Udah punya sandaran aja nih," godaku pada Salma

"Lo kapan nyusul dong? Nunda mulu ntar perawan tua loh, Nad. Kan sayang ntar kalo dianggurin," balas Salma jahil.

"Ya ampun, yang. Mentang-mentang udah nikah aja mainnya jahilin jomblo," kata Fadli suami Salma sambil terkekeh. Kebetulan Fadli adalah teman SMA ku juga tapi duarius deh pas jaman SMA ga ada ciri-ciri Fadli sama Salma akan menjadi pasangan seranjang sekamar mandi. Amsyong. Heran mereka tiba-tiba nyebar undangan kawin minggu lalu.

"Duh, Fad. Gue mah cepet nyari jadi lo bersyukur aja gitu dapet langsung kawin," ejekku

"Omongan lo, Nad. Hahah,"

"Btw, congratz ya buat lo berdua! Gue doain cepet isi, Sal,"

"Amin makasih ya, Nad. Gue doain pulang kondangan gue malem ini lo langsung dapet,"

"Sotoy deh lo, Sal,"

Ritual tempel pipi dengan Raja dan Ratu sehari pun selesai. Dilanjutkan dengan foto untuk sekedar pamer story di instagram kalau malam jum'at begini ga cuma mantengin tv. Ashoy.

Aku pun kembali ke meja tempatku duduk sedaritadi dan kembali menghampiri dua sahabatku yang sedang sibuk dengan pasangan mereka masing-masing.

"Udah nyelametinnya?" tanya Ajeng.

"Udah,"

"Acara telat sih lo." kata Ben

"Cewek itu rempong, Bang. Udah ngebuncitin bini tapi masih aja ga ngerti." balasku menggoda Ben dan Annika.

Annika yang sedaritadi berdiri di samping Ben langsung tersipu malu. Annika memang cukup pemalu walaupun beda dengan putri malu. Apasih, Nad? Mulai ga jelas.

"Mending Annika udah isi. Lo apa? Calon aja lo belum ada, Neng." ejek Ajeng menoyor kepalaku. Ajeng cari masalah. Awas saja kalau nanti aku sudah menikah. Entahlah dengan siapa itu pokoknya diaminin cepet nongol tuh calon.

"Ntar gue bikinin temen buat Dave sama anaknya Ben secepatnya, Jeng."

"Calon aja ga ada mau cari benih dimana lo?" ujar Vier. Ga istri ga suami sama aja suka menindas.

"Anak dulu baru suami deh ya, shaayy, biar cepet atuh." Aku memamerkan senyum manisnya.

"Woi anjrit ngikutin jejak gue." Kali ini Ajeng membalas dengan tawa.

"Sahabat sehidup semakam ya nggak, Jeng."

Kami semua tertawa. Memang kalau sedang berkumpul begini pasti aku selalu ditindas sama mereka. Tapi, aku menganggap itu hanya sebuah lelucon. Ditinggalin calon suami juga itu lelucon. Cih!

"Ehem.. calon pendonor benih dateng noh." ujar Ajeng melirik ke belakangku. Siapa?

Aku dan semuanya menoleh dan mendapati Genta sedang berjalan ke arah kami.

Gugup. Selalu saja aku gugup jika bertemu dengan mantan pacar ter?

Genta tersenyum pada kami semua bukan padaku. Ya ampun Nadine sadar deh jangan kepedean.

"Hai. Ajeng? Ben?" sapa Genta agak ragu. Mungkin karena sudah delapan tahun tidak bertemu dan juga penampilan mereka yang telah berubah. Ajeng? Aku tidak ingin melawak tapi memang bb Ajeng naik setelah punya Dave. Aku sedikit merinding ketika harus memikirkan bbku naik. Jangan deh.

"Hei, Gen. Apa kabar lo?" sapa Ben menyalami Genta dengan toss ala laki. Elah.

"Baik. Istri?" tanya Genta menunjuk Annika.

"Yoi. Lo?" tanya Ben

Genta tertawa. "Gue masih lajang, sob."

Lajang?

Jujur saja aku baru tahu Genta masih lajang. Kenapa aku lega? Tidak boleh.

Malam ini Genta mengenakan jas hitam dipadukan dengan celana kain hitam dengan dalaman kemeja biru tua. Walau aku sering melihat orang dengan penampilan seperti ini tetapi saat melihat Genta aku merasa sedikit tergelitik. Ampuni hamba yang pikirannya sekarang mulai ternodakan, Ya Tuhan.

Memang benar kata orang. Mantan terlihat lebih menawan setelah putus dari mereka.

"Keluarga bahagia ya, Jeng." kata Genta tersenyum.

"Ya gitu deh, Gen. Kenalin ini Vier laki gue." balas Ajeng.

Vier tersenyum sambil menjabat tangan Genta.

Percakapan kami berlanjut. Genta asik bercengkerama dengan Vier dan Ben tentang otomotif dan kawanannya sedangkan aku, Ajeng, dan Annika malah asyik membicarakan barang-barang serta baju brandit yang sebentar lagi akan diskon. Hulala.

Acara berakhir sekitar pukul sebelas malam karena aku dan sahabat-sahabatku harus berfoto bersama dengan pengantin berhubung kami dulu satu SMA.

Aku melangkahkan kaki ke arah tempat parkir menuju ke mobilku yang terparkir di paling ujung parkiran.

"Nad." panggil seseorang yang jujur saja aku sudah kenal baik dengan suaranya.

Genta.

Aku menoleh. "Kenapa, Gen?"

"Boleh nebeng?"

"Boleh. Emang lo ga bawa mobil?"

"Nggak. Tadi gue nebeng Ucok tapi mungkin karna gue kelamaan dia ninggalin gue."

Aku tertawa. "Santai aja. Ayo deh gue tebengin." kataku mengajaknya masuk mobil.

Genta tersenyum sambil mengangguk. Kami berdua langsung masuk ke dalam mobil. Genta yang mengemudi dan aku duduk di sampingnya.

"Hmm, Gen."

"Kenapa?"

"Singgah McD dulu boleh nggak?"

Genta menoleh ke arahku. "Sekarang?"

Aku mengangguk.

"Ok."

As You Are Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang