TWENTY [NADINE]

169 11 2
                                    

"Genta?" gagapku.

Dia tersenyum.

Ibu-ibu, bapak-bapak si Genta senyum! Setelah seminggu dia menampakkan wajah datarnya padaku yang jujur saja sangat kubenci itu, akhirnya sekarang dia ter-se-nyum ceman-ceman.

"Ngapain, Nad?" tanyanya lagi melirik ponselku.

Aku cengo. Aku masih terlena dengan senyumannya.

"Si bego." gumamnya sambil mengacak rambutku. "Segitu kangennya ya lo sama gue?"

Aku baru tersadar dari khayalanku dan langsung membelalak saat mendapati Genta melirik ponselku saat aku sedang stalking akun instagramnya. Kuingin mengumpat, hadirin sekalian.

"Apaan sih lo. Pede banget." kataku mengelak sambil merapihkan rambut hasil catokanku subuh tadi. Aduh, si abang tidak bisa mengerti kalau rambut adek yang badai ini kalo nyatok itu seabad. Tapi, maklumlah Genta sudah terbiasa mengacak-acak rambutku daridulu.

Ehem.. dulu.

"Nggak betah gue diemin, ya?" tanyanya khas dengan senyum iblisnya.

"Idih sotoy deh yey."

Lift pun terbuka dan kami masuk bersamaan. Untungnya dalam lift hanya ada aku dan Genta.

Untungnya? Duh, ambigu.

"Tau deh yang nyesel marahin gue minggu lalu."

Aku tertawa mengejek. "Nyesel pala lu peyang."

"Pasti ngecek ig gue tadi pengen tau pacar baru gue, ya?" godanya.

Iya, gue pengen tau cewek macem apa yang ngerebut mantan orang. Syiaaelah mantan kok direbut. Sadari diri, Nad. Mantan itu mantan dan selamanya hanya seonggok mantan. Apa coba.

"Idih kok lo tiba-tiba sotoy gini sih, Gen?"

"Nggak sotoy kok. Cuman ingin peka sama calon."

Aku langsung menabok kepalanya. "Calon dari hongkong."

"Lah, kalo nyokap lo aja udah ngijinin kita kawin ya gue sih manut."

Aku membelalak. Nyokap? Mamaku?

"Maksud lo apa sama nyokap?"

"Tante Diana udah ngijinin gue buat merjuangin lo lagi, cinta."

Pengen muntah, guys!

Aku masih diam sambil mencoba untuk meminta penjelasan pada Genta.

"Pas gue minta ijin ketemu sama nyokap lo itu gue minta ijin buat ngedapetin lo lagi, Nad." jelas Genta.

Belum sempat aku membalas, kami sudah sampai.

Sambil berjalan ke ruangan pertemuan, aku memikirkan kembali perkataan Genta.

Kebetulan kami bertemu dengan Deni teman satu proyek kami dari pihak investor setia kami. Dia memang sudah cukup akrab denganku karena beberapa kali kami bertemu di lokasi. Dan sekarang bertemu lagi dalam proyek baru.

"Hey, Den." sapaku.

"Nadine? Lo masuk proyek ini juga?" tanya Deni padaku.

"Lo juga?"

"Ya iyalah. Gue ga boleh ga ikut kalo proyek kayak gini mah." candanya.

Genta hanya diam sambil menatap tajam ke arah Deni. Aku melirik Genta lalu kemudian mencubit perutnya.

"Ramah dikit!" kataku pada Genta.

"Hai, Den." sapa Genta ketus.

Deni terbahak. Aku lupa cerita bahwa dulu Deni pernah memelukku. Tapi, itu karena aku hampir jatuh! Bukan karena ada Nadine di balik batu.

Jadilah si Genta yang melihatnya marah.

Eh? Marah?

Aku geli mengingatnya.

"Santai dong, Gen. Lo cemburu sama gue salah tempat." kata Deni menepuk pundak Genta santai.

"Maksud lo?"

"Bini gue baru aja brojolin dua bocah. So, ga ada alasan buat lo cemburu lagi 'kan?"

Aku menahan tawaku melihat ekspresi cengo Genta. Ya ampun mantan gue kok unyu bangetsi? Utuk utuk.

Mantan loh tan. Sadar diri, Nad.

"Serius?" tanya Genta masih tak percaya.

"Serius lah. Eh yaudah kuy masuk. Big bos gue udah di dalem," ajak Deni, "oh ya, Nad. Mantan bos lo juga ada di dalem." sambungnya.

Langkahku langsung terhenti.

Aku menatap Deni dengan tatapan seriusan lo?

Sedangkan, Genta?

Dia bungkam.

As You Are Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang