FIFTEEN [NADINE]

143 11 0
                                    

"Lo mau apa?" tanyaku pada Genta. Kami mengambil tempat duduk di pojok jendela menghadap jalanan kota Jakarta yang entah kemana orang-orangnya karena jalanan tumben mulai sepi.

"Iced coffee float aja, Nad."

"Makanan?"

"Nggak laper gue."

"Serius?"

"Iya."

"Beneran, Gen. Kentang goreng gitu? Gue traktir kok."

Genta tertawa karena apa aku juga tidak tahu. "Yaudah deh terserah lo aja tapi jangan yang berat-berat."

"Kenapa emang?"

"Gue tadi udah makan di kondangan tadi."

Aku manggut-manggut sambil beranjak untuk memesan makanan. Aku daritadi belum makan apa-apa. Makanan di kondangan tadi entah mengapa tidak terlalu menggugah selera. Gengsi juga kalau makan banyak di nikahan temen nanti cowok-cowok ilfeel dong sama si cantik Nadine.

"Satu iced coffee float, satu ice lemon tea large, triple burger with cheesenya satu sama dua french fries yang large." pesanku pada pelayannya.

"French fries dua-duanya yang large?"

"Iya, Mas."

Aku membawa nampan makanan yang kupesan ke arah meja tempat Genta duduk.

"Lo sering makan di sini?" tanya Genta.

"Nggak juga sih. Kalo pas laper trus males masak sama kalo pas kakak gue ngajak makan."

"I see."

Hening.

Aku merasa awkward jika terjebak dalam suasana yang seperti ini. Sungguh. Rasanya berbeda saat aku dan Genta masih pacaran dulu.

"Mobil lo gue bawa pulang aja ke apartemen gue nanti pas besok pagi lo gue jemput." kata Genta.

"Boleh deh. Gue juga lagi males nyetir."

Hening.

Kaku banget.

"Hmm, Gen?" panggilku

Dia menatapku. "Kenapa?"

"Eh. Nggak papa."

Genta tertawa sambil tetap menyeruput minumannya. Uh, seksi gimana gitu. Ya ampun mulai deh pikiran akikah tercemari.

"Apa coba, Nad." kata Genta terkekeh.

Hening.

Baru kali ini aku bimbang. Bimbang kenapa tiba-tiba malam ini burger yang notabenenya sangat kusukai tiba-tiba jadi hambar. Apakah yang buat burger terlalu mengantuk karena dapat shift malam atau bagaimana? Kurasa tidak mungkin.

Tersangka utama adalah lidahku yang sekarang sudah mati rasa karena terlalu lama duduk berhadapan dengan mantanku. Asek asek jos sok ngaku mantan. Emang bener kok itu mantanku.

Mau berapa kali aku bilang kalau Genta benar-benar tampan.

Sialan!

Tahu begitu mending aku kejar saja dia daridulu tanpa gengsi. Ya ampun tobat, Nad.

"Hmm jadi, Vier itu bukan pacar lo ya?" tanya Genta sambil tersenyum kecil. Dia masih sama dengan senyuman itu. Wah.

Aku terdiam menahan tawa. Vier? Pacaran denganku? Hell. Bisa dimutilasi sama Ajeng. Vier tampan dan mapan, perempuan siapa yang tidak tergiur ditawarkan suami seperti Vier. Duh bahasannya suami muluk. Tapi, ya gitu deh. Vier bukan tipeku lagipula Vier sudah seperti sahabatku sendiri layaknya Ben. Oh tidak. Aku tak pernah menganggap Ben seorang pria sejak aku kecil. Ben itu bukan sosok pria yang masuk dalam tipeku. Sejak aku kecil, Ben dan Ajeng sudah ada ruang spesial di hatiku.

"Bukanlah." jawabku

"Lega deh."

Eh?

Genta tersenyum. "Iya gue lega."

Aku bingung. Lega?

Aku bukan wanita bodoh yang sok polos saat ada pria yang bertanya tentang pacarku lalu pada nyatanya aku lajang dan kemudian pria itu mengatakan bahwa dia lega.

Tapi, pengecualian bagi Genta. Apa maksud dia?

Sayap emasku sudah mulai keluar dari belakang punggungku layaknya mariposa. Tapi hanya keluar sedikit. Dia masih malu, choy.

Sampai saat ketika Genta mulai berkata lagi, kupastikan saat itu sayap mariposaku sudah membentang indah tanpa malu-malu.

"Lega karena gue bisa mengejar ketertinggalan gue." sambung Genta.

Damn it!

As You Are Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang