"You okay?" tanya Genta menahan pergelangan tanganku sebelum masuk di ruang pertemuan.
Aku berhenti kemudian menatap Genta sebentar sambil kemudian tersenyum pada pria itu. Ada raut berbeda yang terpancar disana tidak seperti saat tadi di apartemenku.
"Gue kenapa emangnya?" tanyaku.
"Aku." kata Genta.
"Aku kenapa emangnya?" ralatku agak kaku kedengarannya.
Sedaritadi Genta melarangku menggunakan kata lo-gue selama mereka bersama tadi. Well, mungkin dia lagi ngidam pake aku-kamu. Aku tidak mau terlalu kepedean dulu.
"Nothing. Ayo masuk,"
Kami pun masuk ke dalam ruangan tersebut. Masih belum banyak orang ternyata. Hanya ada Gista asisten Pak Tantyo, Fahri dan Rizal perwakilan dari Divisi Detailed Engineering Design, dan beberapa staff lainnya. Aku dan Genta masuk sebagai perwakilan dari kantor kami. Melihat-lihat ke seluruh ruangan, tidak ada Rey. Syukurlah dia belum datang.
Ritual salam-salaman selesai, aku dan Genta mengambil tempat duduk bersampingan sambil mulai membuka beberapa materi hari ini yang akan dibahas sampai beberapa saat kemudian pintu terbuka menampakkan sosok Reynaldi Cakrawangsa bersama rekan-rekan sekerjanya dan juga.. Anna Nasution. Meeting kedua bersama dua sejoli ini. Membayangkannya saja aku frustasi.
Rey menatapku dengan tatapan yang tidak biasanya. Aku menyadari itu. Pasti Rey juga mencurigai aku dan Genta yang akhir-akhir ini selalu bersama.
Aku menatapnya seperti biasanya sesama rekan kerja.
"Selamat pagi, Pak." sapaku membalas jabat tangannya."Selamat pagi juga, Bu Nadine," balasnya tersenyum sambil menatapku.
"Hmmm. Selamat pagi, Pak Reynaldi. Senang bertemu dengan anda lagi," sapa Genta. Aku langsung menatapnya. Pria disampingku ini mungkinkah dia sedang cemburu?
"Senang juga bisa bertemu lagi dengan anda, Pak Maximillian," balas Rey kaku. Bisa kupastikan bahwa sekarang ini telah terjadi perang dingin antara kedua pria di hadapanku ini.
Aku melempar pandanganku pada sosok pujaan hatj Rey. Anna terlihat diam sambil menatap interaksi kami bertiga. She's gorgeous. Cantikkan aku sih kayaknya.
Setelah beberapa menit yang lalu ada perang dingin antara Genta dan Rey, meeting pun akhirnya dimulai dan dibuka dengan presentasi dari Anna tentang proyek Berlin mereka. Aku enggan menyebutnya proyekku juga.
"Kamu ngantuk?" bisik Genta telapak tanganku.
Aku menoleh padanya sambil tersenyum. "Laper," balasku tersenyum.
"Siapa suruh tadi makannya sedikit. Padahal udah aku masakkin enak-enak."
Enak-enak? Hm. "Enak? Not bad loh bukan enak,"
Dia tersenyum kecut sambil menghela nafas. Agaknya dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa masakannya itu masih ada di rating not bad. Tapi, masakan Genta itu masih layak makan. Hanya saja ada beberapa hal yang mungkin masih kurang atau bahkan kelebihan.
"Nggak enak, ya?" tanyanya lagi.Aku tertawa seketika saat melihat ekspresi sedihnya. Astaga. Semua orang yang ada di ruangan langsung menoleh ke arah kami berdua. Ada yang salah. Rupanya aku tertawa terlalu kencang. Ya. Sepertinya.
Rey menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia bergantian menatapku dan Genta.
"Maaf," kataku sambil menunduk dan memperbaiki posisi dudukku.
***
"Nadine," panggil Rey sesaat setelah aku keluar dari ruangan meeting. Ada apa ini?
Aku pun mencoba untuk santai sambil menoleh ke belakang. Genta masih ada yang harus dibicarakan dengan Fahri katanya jadi dia harus tinggal dulu di ruangan. Melihat Rey, aku menemukan Anna dibelakangnya. Serius dia manggil aku tapi Anna ada dibelakangnya? Masih tahu diri nggak sih?
"Ya, Pak?" balasku formal dengan senyum seadanya.
Aku tidak lagi mau bertegur sapa secara friendly dengan Reynaldi setelah apa yang telah dia lakukan dengan sangat seenaknya itu. Aku memang masih dendam, tapi tidak sedendam beberapa bulan lalu. Sudah ada pria brengsek yang menemaniku saat ini. Katakanlah aku labil, tapi tak bisa dipungkiri rasaku delapan tahun lalu pada Genta masih sama ternyata setelah melihat dia kembali lagi dengan senyum brengseknya itu.
"Jangan terlalu formal gitu, Nad. Kita udah selesai meeting." katanya sambil tersenyum.
"Ada perlu apa ya, Pak? Setelah ini saya harus rapat dengan atasan saya. Jadi, kalau Bapak ada perlu mungkin bisa katakan sekarang," tegasku sambil melirik wanita dibelakangnya itu. Astaga, aku masih tetap geram melihat wajah cantik itu. Tobat, Nad. Cantikkan lo kok.
"Rey, mending kita balik kantor sekarang deh. Kita masih harus bahas masalah tadi sama Papi kamu," sela wanita itu.
Rey menoleh sebentar pada Anna sambil tersenyum kemudian mengangguk. "Aku mau bilang sesuatu ke Nadine. Kamu duluan ke Lobby aja gimana? Nggak lama kok," katanya dengan lembut.
Bilang apa sih sampai segitunya? Ngajak balikan? Jiah pede banget sih lo Nad.
Anna pun menyanggupi permintaan mantan pacarnya itu sambil kemudian permisi padaku juga.
"Aku mau ngomong sama kamu, Nad," katanya lagi.
"Yaudah tinggal ngomong aja, Pak,"
"Rey, Nad. Jangan kekanakkan tolong,"
What?! Ini orang kepentok apa sih? "I'm not childish, Sir. I'm just trying to be professional since we are partner, right?" jawabku masih tenang walau rasanya ingin sekali aku memarahi Rey yang berbicara seakan-akan dia tidak pernah menyakitiku.
"Aku mau minta maaf. Kejadian beberapa bulan lalu itu karena aku stress sama kerjaan aku, Nad. Aku minta maaf udah nyakitin kamu dulu. I'm trying to be gentle setelah apa yang aku katakan ke kamu beberapa bulan lalu di apartemen. Tapi, nyatanya aku nggak bisa ngelepasin kamu, Nad. I just can't." jelas Rey dengan mimik wajah yang sangat serius. Wait. Ini apa yang sedang terjadi sebenarnya? Dia beneran ngajakkin balikan?
"So?"
"So what?" tanyanya bingung.
"Jadi, udah selesai ngejelasinnya? Aku sibuk." kataku sambil beranjak dari hadapannya.
"Nadine, please."
"Rey, setelah terakhir kalinya kamu nyium aku, setelah terakhir kalinya kamu ninggalin aku nangis itu kamu masih ada nyali buat minta maaf? Damn it! Kamu itu egois! You think this world will always spinning around you? Kamu salah. Kamu ninggalin aku dan apa? Minta maaf? Terus apa lagi?"
Aku bahkan tak sadar kalau ternyata daritadi Genta sedang menatapku dengan tatapan yang... sulit diartikan. Kapan dia disitu? Rey pasti sengaja!
"I'm done with you. Your 'last' is my last too." tandasku.
Aku pergi dari hadapannya tanpa memperdulikan Genta yang menyaksikan perdebatanku tadi. Memang Genta tahu aku sudah berakhir dengan Rey. Tapi, mungkin dia belum tahu penyebabnya. Biarlah dia tahu sendiri dari kejadian tadi.
Aku butuh kopi. Ya. Kopi adalah opsi terbaik saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
As You Are
Любовные романыSusah payah menata kembali hatinya yang dulu hancur berkeping-keping, Genta kembali lagi mengacaukan hati Nadine. Sebuah kebetulan yang tidak pernah direncanakan saat Genta dan Nadine harus bertemu lagi malam itu. Tapi, kali ini Nadine tidak sendiri...