Nayla memaksa untuk masuk kelas, padahal Devan sudah menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, tapi memang dasar Nayla itu keras kepala dia tetap memaksa ikut ulangan hari ini, untuk apa dia belajar semalaman kalau akhirnya dia harus ikut ulangan susulan.
Thalia dan Devan merasa khawatir melihat wajah pucat Nayla, tidak ada lagi rona merah di pipinya seperti saat gadis itu sedang dalam keadaan sehat. Di UKS tadi Nayla ditemani Devan, saat memasuki kelas juga Nayla di dampingi Thalia. Mereka memang saudara sepupu yang kompak pikir Nayla.
"Nay lo serius mau ikut ulangan?" Thalia tampak tidak yakin dengan keputusan Nayla.
"Iya, semalem gue udah belajar masa ikut susulan." Thalia menggelengkan kepalanya lemah.
Tidak lama seorang guru memasuki kelas, membagikan soal ulangan beserta lembar jawabannya. Suasana kelas tampak sunyi mereka sudah fokus pada kertas ulangan di hadapan mereka. Nayla juga melakukan hal yang sama fokus mengerjakan soal yang ada di hadapannya.
Sesekali Thalia melirik ke arah sahabatnya itu, untuk memastikan kalau Nayla baik-baik saja. Dia menghela Nafas mengingat seberapa keras kepala sahabatnya itu. Jika terjadi sesuatu dengan Nayla, dia akan merasa sangat bersalah karena tidak bisa mencegah Nayla untuk mengikuti ulangan.
Syukurlah sampai ulangan selesai, Nayla masih terlihat baik-baik saja meskipun wajahnya masih pucat. Setelah mengumpulkan lembar jawaban dan juga soal ulangan ke meja guru, Thalia menghampiri Nayla yang sekarang sedang menelungkupkan kepalanya di atas meja, dan menjadikan tangannya sebagai alas.
Thalia tau Nayla sedang menahan sakit yang mendera kepalanya. Beberapa menit lagi bel pulang berbunyi. Thalia berinisiatif untuk merapihkan barang-barang Nayla, memasukannya ke dalam tas. Ia membiarkan Nayla tetap pada posisinya sampai bel pulang berbunyi Devan akan mendatangi mereka.
"Feb lo bawa mobil kan?" Devan berdiri di sisi Febri.
"Bawa, kenapa?" tanya Febri yang melihat ke anehan sahabatnya, pasalnya tidak biasanya Devan mau meninggalkan kelas hampir setengah hari seperti hari ini.
"Gue pinjem dulu ya? Gue mau nganter Nayla balik, doi sakit nggak mungkin gue anter pake motor." Febri mengulum senyum, dia senang akhirnya Devan mau membuka hatinya.
"Nih, lo pake aja. Hati-hati bawa anak gadis orang." Devan menerima kunci mobil yang di sodorkan Febri, tidak lupa ia juga menyerahkan kunci motornya.
"Siap! Sekalian gue minta tolong anterin Thalia balik ya." Febri mengacungkan jempolnya.
Devan memapah Nayla sampai ke parkiran. Dia membukakan pintu untuk Nayla, membantu gadis itu hingga duduk dengan nyaman. Setelah mereka berada di dalam mobil, Devan menjalankan mobil tersebut keluar dari area parkir sekolah.
Keadaan di dalam mobil tampak hening, baik Devan maupun Nayla tidak ada yang mengeluarkan suara. Devan sesekali melirik kearah Nayla, gadis itu sedang memeluk dirinya sendiri. Devan menepikan mobilnya, melepas jaket yang ia kenakan, dan menyampirkannya ke tubuh Nayla. Membuat gadis itu tersentak, Nayla memang merasa kedinginan padahal ac tidak terlalu kencang. Separuh hatinya bersorak riang saat Devan diam-diam memperhatikannya.
Nayla membuka matanya perlahan. Dia melihat Devan yang sedang memperhatikannya, dia jadi tidak enak karena tertidur di dalam mobil sementara Devan harus mengendarai mobil di tengah kemacetan lalulintas Jakarta.
"Eh, kita udah sampe ya?" tanya Nayla masih dengan suara lemah bangun tidur.
"Udah dari 15 menit yang lalu Nay," Kata Devan.
"Sorry kak, lo kok nggak bangunin gue?" Tanya Nayla merasa tidak enak.
"Gapapa, lo pules banget gue nggak tega buat bangunin lo." Devan menyunggingkan senyumnya.
"Makasih ya! Padahal gapapa kalo tadi lo bangunin gue." Devan mengusap kepala Nayla.
"Udah nggak usah di pikirin, yang penting sekarang lo cepet sembuh." Kata Devan.
"Nggak mau mampir?" tanya Nayla.
"Nggak usah lain kali aja, sekarang lo butuh istirahat." Nayla pun mengangguk.
Devan memperhatikan Nayla, sampai gadis itu sudah masuk kedalam rumah barulah dia melajukan mobilnya meninggalkan rumah Nayla.
Nayla menyandarkan tubuhnya di balik pintu, dia memegang jantungnya yang berdetak di luar batas wajar. Rasa sakit di kepalanya sudah tidak di rasakan olehnya, karena sibuk mencerna apa yang terjadi beberapa saat lalu sampai jantungnya berdetak begitu cepat.
"Assalamualaikum." Nayla megucapkan salam sambil melepas sepatunya.
"Waalaikumsallam." Jawab bundanya dari arah kamar.
"Loh Nay, kok kamu pucet gini nak?" Sekar meraba kening Nayla.
"Nay nggak apa-apa kok bun." jawab Nayla. Meraih tangan bundanya dan mencium tangan tersebut.
"Badan kamu panas gini Nay, kita ke dokter ya?" Nayla menggeleng.
"Jangan bun, Nay gak mau. Nay istirahat aja nanti juga mendingan kok." Sekar menghela nafas, putrinya memang sulit jika di ajak untuk pergi ke dokter..
"Yaudah, kamu istirahat nanti bunda bawain makanan sama obat." Nayla mengangguk dan pergi ke kamarnya.
Setelah membersihkan tubuh dan mengganti baju Nayla membaringkan dirinya di atas kasur, kepalanya sangat pusing. Bundanya masuk membawa semangkuk bubur, air putih, obat penurun demam, dan satu lagi Nayla tidak tau obat apa.
Nayla mendudukan dirinya dan bersandar di kepala ranjang, bundanya sudah siap menyuapinya. Bubur itu terasa pahit di mulutnya, tapi dia tetap menelan bubur tersebut. Bundanya pasti akan mengajaknya ke dokter jika dia tidak mau makan.
"Udah bun, Nay kenyang."
Bubur itu masih tersisa setengah, tapi Sekar tidak memaksa Nayla untuk menghabiskannya. Setidaknya perut Nayla sudah terisi, Pikir Sekar.
"Kalo gitu sekarang kamu minum obat, abis itu istirahat. Itu ada obat sakit tenggorokan juga, suara kamu udah abis gitu." Setelah mengatakan itu bunda Nayla melangkah ke luar dari kamar Nayla.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Admirer (New Version)
Teen FictionSebelumnya Nayla tidak pernah berpikir akan merasakan cinta di masa putih abu-abu. Terlebih kepada dia, yang sudah mengerjai Nayla di hari pertamanya masuk sekolah baru. Sampai semuanya berubah, Nayla tidak bisa lagi mengendalikan perasaannya. Nayla...