Part 15

3.4K 185 0
                                    

Nayla baru saja menyelesaikan tugasnya, sudah jam 10 malam pantas saja matanya terasa lelah minta di pejamkan.

Tok.. tok.. tok...

"Masuk." Jawab Nayla sambil membereskan buku-bukunya.

"Kamu belom tidur dek?" Tanya Vano yang sudah duduk di Kasur Nayla.

"Baru selesai belajar, abang baru pulang?" Sebenarnya itu hanya pertanyaan basa-basi saja, Nayla tau sekali jawabannya melihat abangnya masih mengenakan pakaian yang sama seperti saat mengantarkan Nayla ke café tadi sore.

Vano melihat jam di pergelangan tangannya, lalu mengangkat sebelah alisnya. Tidak biasanya pikir Vano.

"Ada yang kamu pikirin hmm?" Vano menggeser bangku yang di duduki Nayla, sekarang posisi mereka berhadapan.

"Nggak ada bang, Nay Cuma lagi susuah fokus aja akhir-akhir ini." Vano menggeleng saat mendengar jawaban adiknya.

"Kamu nggak bisa boongin abang, pasti ada yang lagi kamu pikirin." Vano menjeda kalimatnya, seraya berpikir.

"Udah malem, mending kamu istirahat." Ucap Vano akhirnya, tidak berniat melanjutkan pembicaraan mereka. Nayla kecil selalu menceritakan apapun kepadanya, hal itu membuatnya yakin cepat atau lambat adiknya akan menceritakan permasalahannya.

"Bang." Vano mengurungkan niatnya untuk meninggalkan kamar Nayla,

"Abang pernah mikirin seseorang?" pertanyaan Nayla terdengar ambigu memang, tapi dia bingung harus memulai dari mana.

"Pernah. Mikirin bunda, ayah, abang juga mikirin kamu." Jawab Vano sekenanya.

"Bukan itu maksud Nay bang, tapi seseorang yang bikin abang terbiasa dengan kehadirannya. Hemmm orang yang abang suka mungkin?" Nayla ragu-ragu mengucapkan kalimat terakhirnya.

"Kamu lagi suka sama seseorang?" Nayla menggeleng.

"Jawab dulu." Vano mengerling jahil.

"Pernah nggak ya? Tapi kamu janji dulu setelah abang kasih tau, kamu harus jawab pertanyaan abang." Vano mengacungkan jari kelingkingnya, yang di sambut oleh Nayla.

"Okayyy, abang pernah mikirin seseorang."

"Terus apa yang abang lakuin biar nggak terus-terusan mikirin dia?" Tanya Nayla penasaran.

"Abang cari kesibukan." Nayla mengangguk.

"Sekarang gantian abang yang nanya, kamu lagi suka sama seseorang?" Vano melihat gelagat Nayla yang sedikit gelisah. Adiknya ini mudah sekali di tebak, pikirnya.

"Nay nggak tau sih bang. Cuma akhir-akhir ini Nay suka mikirin dia." Jawab Nayla jujur, ia menunduk tidak berani melihat ke arah Vano.

"Nay, lihat abang. Itu bukan suatu kesalahan, itu hal yang manusiawi ketika kamu mulai mikirin dia secara nggak langsung orang itu udah bisa buat kamu nyaman. Pesan abang, kamu harus bisa kontrol perasaan kamu. Jangan sampai kamu sakit karena harapan yang udah kamu buat sendiri, kamu paham kan?" Nayla mengangguk. Haruskah ia menceritakan permasalahan yang mengganjal di pikiran dan hatinya kepada Vano? Nayla menggeleng samar, ia belum tau isi hati Devan kepadanya. Yang harus ia lakukan saat ini adalah bagaimana mengikis harapan yang pelan-pelan sudah mulai tumbuh di hatinya.

"Adik abang udah besar, udah bisa suka sama orang." Ucap Vano jahil.

"Ih abang apaan sih, Nay cuma nanya aja tau!" Kata Nayla sambil mengembungkan pipinya.

"Iya iya abang bercanda, yaudah sekarang kamu tidur jangan kebanyakan mikir otakmu juga butuh istirahat." Vano bangun dari duduknya, sebelum berlalu ia menyempatkan untuk mengusap sayang kepala adiknya.

"Bang." Nayla mendongak, melihat abangnya.

"Apalagi?"

"Makasih." Ucap Nayla tulus.

"Sama-sama dek." Jawab Vano sambil mengacak rambut adiknya gemas.

"Pagi bunda," sapa Nayla sambil memeluk bundanya yang sedang menyiapkan sarapan mereka.

Sekar meraih tangan putrinya yang berada di perutnya.

"Pagi juga anak bunda yang cantik." Nayla melepas pelukannya dan duduk di kursi makan.

Ayah Nayla mengusap Puncak kepala putrinya itu gemas, Nayla mendongak melihat ayahnya yang sudah rapih. Dia tersenyum dan memeluk ayahnya yang berdiri di sampingnya.

"Anak ayah ini, sudah besar masih aja manja." Katanya sambil mengusap-usap kepala Nayla.

"Gapapa dong, aku manjanya sama ayah ini." Setelah Nayla melepas pelukannya Dirga duduk di salah satu kursi yang memang sudah di siapkan untuknya.

"Kamu bareng abang aja dek, gak usah naik bus." Nayla mengangguk sambil mengunyah roti isi coklat buatan bundanya.

Nayla tiba di kelasnya, ia melihat sahabatnya sudah duduk di bangkunya, wajah Thalia terlihat sedang menahan kesal. Ia menghampiri Thalia, duduk di sampingnya.

"Kamu kenapa Thal?"

"Ada nenek lampir pagi-pagi udah ngajak ribut, gara-gara itu orang gue harus pergi naik ojek Nay! Mana tukang ojeknya ganjen lagi." Nayla menahan tawanya.

"Tapi lo gapapa kan? Abang ojeknya gak ngapa-ngapain lo kan?" Thalia menggeleng.

"Ya iya sih, tapi kan kesel aja Nay." Nayla menggeleng, selanjutnya ia membiarkan sahabatnya itu mengeluarkan ke kesalannya.

*****

Nayla dan yang lain sudah berada di kantin seperti biasanya, ia memesan nasi goreng dan es jeruk.

"Nih Nay." Thalia menyerahkan sebuah bungkusan kepada Nayla. Ia mengerutkan dahi bingung.

"Gue kan janji, mau beliin lo telur asin." Mata Nayla berbinar saat tau isi bungkusan itu.

"Makasih ya!" Ucap Nayla antusias.

"Sini gue kupasin." Devan tidak memperdulikan tatapan bingung Nayla, dia mengambil telur di tangan Nayla.

Gaby menatap sinis ke arah mereka berdua. Setelah selesai dia meletakan telur itu di atas piring Nayla.

Thalia merasa puas melihat raut kesal tercetak di wajah Gaby, ia melihat sinis ke arah perempuan itu. Gaby yang muak dengan keadaan tersebut memilih berdiri, dan menaruh alat makannya kasar sampai menimbulkan bunyi yang mencuri perhatian orang-orang di meja tersebut, tak cukup sampai di situ perempuan itu menendang kaki meja sebelum berlalu.

"Gue yakin banget kakinya sakit habis ini." Celetuk Thalia, sambil terkikik geli.

"Thal..." Febri memperingati Thalia dengan tatapan yang seolah berkata cukup.

"Yaudah lah lanjut makan aja kita." Kevin mengalihkan perhatian.

"Apa Cuma gue yang nggak tau apa-apa di sini?" gumam Nayla, yang terdengar samar oleh Devan.

"Lo bilang apa Nay?" Tanya Devan.

"Ah nggak, nggak bilang apa-apa." Jawabnya. Padahal Devan yakin Nayla mengucapkan sesuatu tadi.

"Minggu ini jadi ke rumah lo kan Thal?" Tanya Kevin saat mereka sudah selesai makan.

"Jadi dong kak." Jawab Thalia.

"Yashhh makan-makan! Aduuuhh duh Feb, lo jangan main kekerasan gitu dong. Nanti kalo gue geger otak gimana?" Febri menggeleng, drama sekali. Mana ada orang geger otak karena di jitak, dia juga yakin jitakannya barusan tidak terlalu keras.

"Udah ah yuk cabut!" Kata Rio tak memperdulikan drama sahabatnya, hal seperti ini sudah biasa di lihatnya.     

Secret Admirer (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang