Tania membantu Nayla turun dari mobil Rio, laki-laki itu sedang menurunkan kursi roda Nayla dari dalam bagasi.
Setelah acara dengan keluarga selesai, Rio dan Tania menjemput Nayla yang memang kebetulan searah, sebenarnarnya Vano tidak keberatan untuk mengantar Nayla. Tapi, Tania dan Rio menjemputnya sekalian bersilaturahmi kerumah Nayla.
Setelah Nayla duduk di kursi roda, Tania berdiri di belakang bersiap untuk mendorong kursi roda tersebut.
"Tan, maaf ya jadi ngerepotin."
"Gapapa Nay." Sudah banyak mobil terparkir si pelataran rumah Thalia, dua diantaranya yang Nayla kenali sebagai mobil milik Febri, dan Kevin. Itu artinya Noura sudah ada di dalam.
"Yaudah yuk masuk!" Rio mengajak mereka untuk masuk. Semakin mendekati pintu jantung Nayla semakin berdebar tidak karuan.
Di dalam sudah ramai banyak saudara dan kerabat jauh Thalia yang datang, Tania mendorong kursi roda Nayla ke arah sahabatnya yang lain.
"Nay, Tan Minal aidin wal faidzin. Mohon maaf lahir dan batin." Mereka berjabat tangan dan saling memeluk satu sama lain.
Setelah acara halal bihalal selesai mereka berkumpul di salah satu meja yang sudah di siapkan. Ada Rio, Febri, dan Kevin tidak ada Devan di sana. Membut Nayla sedikit bernafas lega setidaknya dia masih punya waktu untuk menguatkan hatinya.
"Assalamualaikum..." Mereka semua melihat ke arah pintu untuk melihat siapa yang baru saja datang. Nayla menghela nafas, saat tau siapa yang berdiri di sana. Ini saatnya, batinnya.
Kamu gapapa Nay, kamu harus kuat!
Nayla menyunggingkan senyum tipis. Tania tau itu senyum yang di paksakan oleh Nayla. Meski sudah mayakinkan dirinya tetap saja jantung Nayla berdebar kencang saat mendapati Devan melangkah ke arah meja mereka, bukan itu masalah sebenarnya, tapi sosok Gaby yang berjalan di belakang Devan.
Melihat Nayla yang memucat, Thalia berinisiatif mendekati Nayla.
"Gapapa Nay!" Thalia berbisik di telinga Nayla, seraya menggenggam tangan Nayla yang terasa dingin.
"Gue mau ke toilet." Thalia berdiri di belakang kursi roda Nayla dan mendorongnya ke arah belakang rumahnya.
Bukan ke arah Toilet, tapi ke arah halaman belakang rumah Thalia.
"Gue tau itu Cuma alibi lo, lo Cuma gak mau ketemu Gaby, makannya gue ajak lo ke sini. Kita di sini aja dulu ya." Nayla mengangguk.
"Lo tunggu disini sebentar, gue ambil makan sama minum dulu."
Nayla mengangguk setidaknya di sini lebih baik, banyak anak-anak kecil yang Nayla perkirakan adalah saudara Thalia. Mereka berlari kesana kemari, ada yang sedang bermain boneka, bola, dan banyak mainan lainnya.
Nayla menunduk melihat kakinya, saat sebuah bola menggelinding ke arahnya. Tidak lama seorang anak perempuan menghampirinya.
"Ini bola punya kamu?"
"Iya kak, makasih." Anak perempuan itu mengambil bola di tangan Nayla.
"Kaki kakak kenapa? Sakit ya kak?" Nayla mengangguk.
"Iya sakit, kamu hati-hati ya mainnya, biar nggak jatuh." Anak itu mengangguk.
"Nama kakak siapa?" Anak itu bertanya sambil mengerjap-ngerjapkan matanya lucu membuat Nayla gemas.
"Nama kakak Nayla. Nama kamu siapa cantik?" Nayla mengelus pipi gembil anak itu.
"Sasa, kak Naya kakinya sakit karena jatuh ya?" Nayla mengangguk.
"Iya makannya Sasa mainnya hati-hati ya. Oiya, Sasa nama kakak Nayla bukan Naya." Nayla membenarkan namanya.
"Sasa nggak bisa." Sasa menggelang, Nayla tau sekarang.
"Jadi Sasa cadel L ya? Berarti nama Sasa itu Salsa?" Salsa mengangguk.
"Kamu lucu banget sih." Nayla menjawil hidung Salsa pelan.
Mereka berdua tertawa bersama. Tawa Salsa berhenti saat melihat Devan di balik punggung Nayla. Gadis itu belum menyadari, dia tersentak saat mendengar suara seseorang yang sangat dikenalnya.
"Salsa main sama yang lain dulu ya? Kak Naylanya kakak pinjem dulu." Devan berjongkok di hadapan Salsa. Anak itu mengangguk, dan berlari menghapiri anak-anak yang lain. Setelah kepergian Salsa, Devan berlutut di hadapan kursi roda Nayla.
"Gimana keadaan kamu?" Tanya Devan. Nayla mengeryitkan keningnya, kenapa Devan mengubah panggilan mereka menjadi aku kamu?
"Seperti yang kakak lihat." Nayla belum berani menatap Devan.
"Aku minta maaf Nay, aku sama sekali nggak ada maksud buat nyakitin kamu. Soal Gaby...-" Ucapan Devan terhenti.
"Nay udah maafin kakak. Jauh sebelum kakak minta maaf." Devan tertegun, dia tau Nayla masih berusaha menghindarinya. Terbukti dari Nayla yang memotong ucapannya mengenai Gaby. Tapi hatinya menghangat saat Nayla menyebut dirinya nama, tidak lo gue seperti sebelumnya. Awalnya Devan ragu untuk mengubah panggilan mereka, dengan keberanian yang sedikit Devan tetap melakukannya, kalau tidak seperti ini hubungan mereka akan tetap jalan di tempat.
Tanpa mereka sadari Gaby melihat mereka di ambang pintu yang menghubungkan halaman dengan dapur.
Gaby tersentak saat seseorang yang menyemtuh bahunya.
"Lo gak bisa terus kaya gini Gab, lo harus ikhlasin kak Devan. Lo gak bisa maksain kehendak lo! Dan yang perlu lo inget perasaan gak biasa di paksain Gab, kak Devan sayang sama Nayla." Thalia berdiri di belakang Gaby sambil menatap ke arah yang sama dengan Gaby.
"Gue gak bisa Thal, lo gak tau rasanya jadi gue!" Gaby menunduk seraya menyeka air matanya.
"Gue emang gak ngerasain Gab, tapi gue tau! Ini emang gak mudah. Tapi Gab, hidup lo harus tetap berjalan. Dengan atau tanpa Devan! Dan sekali lagi gue tegasin sama lo, hidup lo harus terus berjalan Gab masa depan lo masih panjang. Lo gak bisa terus-terusan jadiin masalalu lo sebagai patokan. Kehidupan ini gak kaya Instagram yang punya fitur rewind, apapun yang terjadi di masalalu lo harus tetap melangkah ke depan." Gaby membalikan badanya menatap ke arah Thalia. Yang di katakan Thalia memang benar. Gaby tersenyum ke arah Thalia, entah siapa yang memulai sekarang mereka saling berpelukan.
"Lo bener Thal, harusnya gue berayukur Devan masih nganggap gue saudara, gue juga harusnya bersyukur Devan mencintai gadis sebaik dan setulus Nayla. Gue harus minta maaf sama Nayla." Thalia mengangguk.
"Harus, gue yakin Nayla pasti maafin lo." Thalia memberi senyuman kepada Gaby, yang di balas senyum juga oleh Gaby.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Admirer (New Version)
Teen FictionSebelumnya Nayla tidak pernah berpikir akan merasakan cinta di masa putih abu-abu. Terlebih kepada dia, yang sudah mengerjai Nayla di hari pertamanya masuk sekolah baru. Sampai semuanya berubah, Nayla tidak bisa lagi mengendalikan perasaannya. Nayla...