Setelah motor milik Rio dan Kevin berlalu melewati gerbang, Nayla memutuskan untuk pamit kepada Thalia selaku tuan rumah.
"Thal, gue juga pulang ya?" Thalia menatap Nayla.
"Sama siapa?"
"Udah di tunggu bang Vano di depan komplek."
"Kenapa bang Vano gak ke sini aja?" tanya Febri.
"Emm... Ituuu... Anu... Bang Vano sekalian lewat dia lagi Buru-buru jadi gak bisa kesini." Febri dan Thalia merasa ragu dengan jawaban Nayla, tapi mereka tetap mengangguk mengiyakan, bukan hanya mereka Nayla sendiri tidak yakin dengan jawabannya.
"Yaudah aku permisi ya! Bye Thal, Kak!" setelah mengatakan itu Nayla berjalan meninggalkan rumah Thalia.
Nayla melangkahkan kakinya menyusuri setiap jalanan komplek, ia tidak benar-benar mengatakan kalau Vano sudah menjemputnya. Abangnya itu sedang mengikuti reoni dengan teman semasa SMA-nya.
Nayla tidak tau mengapa ia berkata seperti itu, ia tidak memiliki alasan khusus.
Nayla masih melanjutkan langkahnya sampai dia tiba di sebuah Taman yang ada di komplek ini, setidaknya melihat banyak anak kecil yang sedang tertawa riang bisa sedikit menghibur hatinya yang sedang kurang baik.
Dia duduk di sebuah kursi, Taman ini memang tidak luas tapi cukup nyaman dan sejuk, dari tempatnya duduk Nayla bisa melihat banyak anak kecil yang sedang berlarian kesana kemari, ada juga yang sedang bermain ayunan. Orang tua mereka memantau dari kejauhan.
Nayla merasakan getaran di dalam tasnya, ia mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menelponnya. Ternyata Devan, ia menimbang-nimbang untuk menjawab atau tidak panggilan dari Devan. Saat dia ingin menggeser tombol hijau, panggilan tersebut sudah mati. Ia memasukan kembali ponselnya, jika ada hal penting yang ingin di sampaikan laki-laki itu, dia pasti akan menghubunginya lagi.
Nayla merasakan kehadiran seseorang di sampingnya, ia menengok untuk melihat siapa orang itu. Sedikit tersentak, tapi sedetik kemudian ia bisa menormalkan kembali ekspresinya. Kenapa bisa ada di sini? Pikirnya.
"Bener dugaan gue lo nggak beneran di jemput! Untung gue liat." Ucapnya.
Nayla menghela nafas.
"Gue nggak berharap lo liat. Toh, selama ini gue ngerasa terlalu invisible buat lo." Nayla bergumam, tapi masih dapat di dengar oleh orang di sampingnya.
"Lo nggak!" Nayla mengeryitkan dahi.
"Hmmm?"
"Lo nggak Invisible Nay." Lanjutnya.
"Tapi kenyataannya gue ngerasa begitu." Nayla menunduk tak berani menatap lawan bicaranya.
Devan mengubah posisinya menjadi berlutut di hadapan Nayla.
"Apa rumput itu lebih menarik buat lo liat?" Devan menyentuh dagu Nayla agar perempuan itu menatapnya.
"Kalo bicara itu di liat lawan bicaranya, jangan liat yang lain." Devan gemas dengan tingkah Nayla yang malu menatapnya.
"Maaf!"
"Buat?" Tanya Devan.
"Nggak liat lo." Devan terkekeh geli.
"Jadi siapa yang Invisible?" Kali ini Devan bertanya, setelah tawanya reda ia mulai menciptakan suasana yang lebih serius di antara mereka.
"Duh kak, kenapa lo masih bahas itu sih?" Nayla salah tingkah, posisi Devan masih sama berlutut di hadapannya. Mengikis jarak di antara mereka, kegugupan Nayla terlihat sangat jelas.
"Lo Cuma tinggal jawab." Pandangan mereka saling bertaut.
"Gue nggak tau." Jawab Nayla seraya menolehkan kepalanya ke arah lain.
"Nay dengerin gue baik-baik." Ucap Devan, ia menangkupkan tangannya di pipi Nayla.
"Setiap orang punya cara yang berbeda buat nunjukin rasa sayangnnya, dan gue bukan tipikal orang yang bisa dengan gamblangnya bilang sayang."
"Maksudnya apa kak?" Tanya Nayla bingung. Devan mengedikkan bahu, tanpa berniat menjawab.
"Lo cukup rasain, dan nikmati setiap proses yang bakal kita lalui kedepannya." Devan menggenggam tangan Nayla, mengajak perempuan itu berdiri.
"Udah yuk pulang, udah mendung." Sebelum beranjak dari sana, Nayla menahan tanggan Devan hingga laki-laki itu menghentikan langkahnya.
"Tapi kak...-"
"Lo mau bilang kalo lo di jemput? Sayangnya gue nggak nerima penolakan!" Nayla mengembuskan nafasnya. Padahal, ia ingin membeli es krim yang ada di sebrang taman ini.
"Gue mau beli es krim dulu kak!" Devan menghentikan langkahnya dan berbalik. Gerakan mendadak itu mengakibatkan Nayla menabrak dada bidang Devan, hampir saja ia terjatuh kalau tidak ada sepasang lengan yang menahan pinggangnya.
"Nggak ada es krim ya! Lo nggak liat cuaca lagi mendung gini?" Nayla menggeleng.
"Tapi tadi gue liat ada di sa...na! loh kok nggak ada?" Devan mengulum senyumnya melihat tingkah polos Nayla.
"Abangnya udah Pulang. Takut keujanan, lo nggak takut emang?" baru saja Devan menyelesaikan ucapannya. Suara petir terdengar menggelegar, membuat Nayla Reflek memeluk Devan. Jantung keduanya sama-sama berdebar.
![](https://img.wattpad.com/cover/106212813-288-k720550.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Admirer (New Version)
TeenfikceSebelumnya Nayla tidak pernah berpikir akan merasakan cinta di masa putih abu-abu. Terlebih kepada dia, yang sudah mengerjai Nayla di hari pertamanya masuk sekolah baru. Sampai semuanya berubah, Nayla tidak bisa lagi mengendalikan perasaannya. Nayla...