Nayla mengabaikan pesan yang masuk di ponselnya, jangankan untuk membalas membaca pesan tersebut saja ia enggan. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak 15 menit lalu, kelasnya sudah sepi. Teman-temannya sudah pulang sejak tadi, ia berdiri menghadap jendela yang langsung mengarah ke parkiran.
Ia bisa melihat Devan duduk di atas motornya, laki-laki itu masih menunggu Nayla. Laki-laki itu beberapa kali melirik jam di pergelangan tangannya. Ponsel di dalam sakunya bergetar, menandakan sebuah panggilan masuk, ia mengabaikan panggilan tersebut. Sejak tadi Devan memang berusaha menghubunginya, tapi tidak satu pun pesan Devan ia balas, panggilan pun Nayla abaikan.
Devan tidak tau Nayla masih di dalam kelas, jelas saja tadi saat bel berbunyi ia pergi ke toilet, hingga yang Thalia tau dirinya langsung pulang setelah dari toilet.
Devan menghubungi seseorang, setelah panggilan terputus laki-laki itu memasukan ponselnya ke dalam tas dan memakai helmnya. Melihat Devan sudah keluar dari area parkir Nayla segera beranjak untuk pulang, ia memang sengaja menghindari Devan.
Lebih baik ia pulang naik bus daripada harus pulang dengan laki-laki yang hanya menjadikannya pelarian. Entah kenapa ia sangat mempercayai apa yang di katakan Gaby. Andai Nayla tidak melihat Devan dan Gaby di halaman belakang sekolah tadi pagi, mungkin ia tidak akan semudah itu untuk percaya. Mata Nayla masih berfungsi dengan normal, jadi ia tidak mungkin salah melihat. Terlebih ada sebuah pesan yang dikirim oleh nomor tidak di kenal.
Isi pesan tersebut kurang lebih menyuruhnya, untuk menjauhi Devan. Tanpa mencari tau identitas si pengirim pun Nayla sudah bisa menebak siapa orangnya. Ia tidak habis pikir ternyata di balik sikap baik Devan, laki-laki itu berniat menghancurkan hatinya.
Beruntung ia tau lebih awal, jika saja ia terlambat mengetahuinya Nayla yakin, hatinya akan lebih sakit dari yang sekarang ia rasakan.
Tidak butuh waktu lama untuk menunggu bus yang melewati komplek rumahnya, karena dia tidak perlu berebut dengan siswa lain, halte sudah sepi hanya ada Nayla yang menunggu bus.
Di dalam bus Nayla asik dengan pikirannya sendiri, tidak, ia tidak marah kepada siapapun, baik Gaby maupun Devan. Nayla kecewa, tapi hal tersebut tak lantas membuatnya membenci Devan.
Nayla sampai di rumah ketika hari sudah sore, ia membersihkan dirinya dan segera menunaikan sholat asar, setelah itu ia merebahkan dirinya di atas kasur, sampai ia terlelap.
*****
Devan memerkirkan motornya di depan rumah Nayla, sedari tadi ia mencoba menghubungi nomor Nayla tapi tidak di jawab oleh gadis itu. Dia mencoba mengirimkan pesan kepada Nayla, memberi tau gadis itu kalau ia berada di depan rumahnya.
Devan bingung sebenarnya apa yang terjadi dengan Nayla? Ia juga khawatir. Ia merasa gadis itu mulai menghindarinya. Sejak pulang sekolah tadi Devan sudah berkali-kali mencoba menghubungi Nayla. Awalnya dia berpikir pada saat Nayla pulang lebih dulu mungkin gadis itu lupa mereka akan pulang bersama, meningat Nayla sudah terbiasa pulang menaiki bus. Tapi ia merasa janggal, karena tak satupun pesan dan panggilannya di jawab oleh gadis itu.
Menghela nafas lelah, sekali lagi ia mencoba menghubungi gadis itu, jika panggilannya kali ini di abaikan juga, dia akan pulang. Sudah deringan ke empat tapi tidak ada tanda-tanda Nayla akan menjawab panggilannya, sampai suara itu tergantikan dengan suara operator.
Devan melihat ke arah rumah Nayla sebelum menyalakan motornya, dan berlalu pergi dari sana.
Setelah kepergian Devan, Nayla mengembuskan nafas leganya. Sebenarnya sedari tadi ia berniat turun dan menghampiri laki-laki itu, tapi ia urungkan mengingat kejadian tidak mengenakkan hari ini.
Paginya Nayla bangun terlambat, ia harus meminta Vano mengantarnya.
Saat tiba di kelas, ia melihat ketiga sahabatnya sedang berkumpul di bangkunya, entah apa yang sedang di bicarakan tampaknya hal serius sampai-sampai tidak ada satupun di antara mereka yang menyadari kedatangannya. Semakin dekat dengan bangkunya, ia bisa mendengar dengan jelas pembicaraan sahabatnya.
Seketika ia menegang saat Thalia mengatakan jika Devan pernah berpacaran dengan Gaby.
"Gaby mantannya kak Devan! Gue bakalan ceritain detailnya sama kalian tapi gue mohon jangan sampe Nayla tau dulu tentang...-"
"Thal..." Nayla menjeda ucapannya.
"Gue udah denger!" ia tersenyum getir ke arah ketiga sahabatnya.
"Nay nggak gitu! Ini nggak kaya apa yang lo pikirin." Thalia gugup.
"Memangnya apa yang gue pikirin?" mereka semua diam, tidak satupun yang bisa menjawab pertanyaan Nayla.
"Nggak ada. Kalian tenang aja, gue bakalan berikap seolah gue nggak tau apa-apa." Setelah mengucapkan itu Nayla berbalik, meninggalkan ketiga sahabatnya.
Nayla berniat pergi ke toilet, di tengah koridor ia berpapasan dengan Devan dan Kevin, ia pura-pura tidak melihat dan tetep melanjutkan langkahnya. Devan mencekal pergelangan tangan Nayla saat gadis itu akan melewatinya.
Matanya bertemu dengan manik coklat yang belakangan ini membuatnya terpesona, dalam keadaan normal mungkin jantungnya akan berdebar, tapi tidak untuk kali ini. Nayla menyentakkan tangannya, agar cekalan Devan terleps, tapi nihil Tenaga Devan jauh lebih kuat.Nayla menghela nafasnya lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Admirer (New Version)
Teen FictionSebelumnya Nayla tidak pernah berpikir akan merasakan cinta di masa putih abu-abu. Terlebih kepada dia, yang sudah mengerjai Nayla di hari pertamanya masuk sekolah baru. Sampai semuanya berubah, Nayla tidak bisa lagi mengendalikan perasaannya. Nayla...