14

38 4 0
                                    

Sekejap kenangan itu melintas. Air mataku mulai menetes. Lama-lama membanjiri wajahku. Aku menangis sesegukan dihadapan ketiga sahabatku. Sahabat-sahabatku hanya bisa ikut bersedih melihat kesedihan mendalamku.

“Dies, udah dong. Gw tau, lo masih terpukul banget soal kejadian taun lalu, tapi gw yakin lo bisa nutup semua kejadian yang buruk  itu,” Bunga memelukku sangat erat, disusul Viona dan Carra sambil mengelus-elus punggungku.

“Dies, udah dies ada kita disini diesa. Danu udah bahagia disana,” Viona berucap menguatkanku.

Lama sekali aku tidak bersedih mengenai masa laluku. Aku sudah mencoba mengubur semua kejadian itu. Namun hasilnya tetap sama. Ketika ada laki-laki yang mendekatiku, bahkan menyatakkan cintanya padaku, aku selalu menolak dengan beragam alasan. Rasanya sulit dan berat. Hatiku belum siap terluka.

Bunga, Viona,dan Carra membantu mengusap air mataku dan kembali mencoba menenangkanku.

“Udah ah jangan sedih-sedih lagi, nanti cantik lo luntur lho,” Bunga kembali menghiburku dengan candaannya.

“Iya udah dies, gabaik aha nangis mulu, smile dong,” giliran Carra yang menenangkanku.

“Semangat gendis, eh salah cadies.” Viona mulai dengan candaanya.

Aku tersenyum dan mencoba menenangkan diriku sendirin
“Sorry ya kalian kesini harusnya seneng-seneng. Malah liat gw nangis gini,” senyumku mulai mengembang perlahan.

“Sans ae yogz,” Viona yang sok gaul berbicara.
Lagi-lagi aku beruntung karena aku mempunyai sahabat yang super baik kepadaku, tulus dan setia ada sampingku,merangkulku, menghiburku. Terimakasih Tuhan.

Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu. Dengan sigap Carra membukakan pintu kamarku. Terlihat bibi di depan kamar.

“Non kata ibu, makan dulu, makannya sudah siap.”

“Ok bi, makasih,” jawab Carra

“Dies, daripada sedih, makan aja yu,” Carra dengan raut wajah kelapar, mengajakku untuk makan.

“Ahh itu ma alesan doang, bilang aja lo laper jir hahaha,” balas Viona  yang kembali mencoba mencairkan suasana.

Sebelum ku turun ke bawah, aku memutuskan untuk mencuci mukaku sebentar supaya mukaku tidak terlihat kusam karena habis nangis.

Tidak lama kemudian, aku turun bersama teman-temanku. Seperti biasa, masakan bunda sanagat memuaskan, sampai-sampai Carra yang kelaparan nambah terus  hahaha. Lucu sekali dia, si kecil cabe rawit ahahah.

Makanan sudah habis. Kami kembali naik ke kamar dan mengobrol ria. Kali ini gantian, Bunga yang masih utang cerita mengenai Alex pada teman-temanku sekalian bercerita. Konyolnya, dia mau saja kukerjai, ahahahahhaa. Tawa kami pecah ketika mendengar Bunga menceritakan kronologisnya.

“Jadi lo gimana nih sama alex? Dari gerak geriknya sih masih ada rasa yang terpendam. Ahahha,” kali ini Vona yang berusaha menebak.

“Ya jujur sih bisa dibilang gitu, nyeselnya baru sekarang,terus pas dia deket sama cewe-cewe lain, rasanya masih cemburu. Tapi gw tau, gw bukan siapa-siapa dia lagi. Jadi gw ga berhak buat ngelarang-ngelarang dia deket sama orang lain,” Bunga terlihat sedih. Ia terlihat menahan airmatanya.

“Jangan nangis ya bung, gw ngerti perasaan lo. Belajar dari yang udah kejadian aja,” jawabku sambil menenangkannya.

“Gini aja deh, kalo lo masih mau bareng sama dia, kenapa ga diperjuangin?” Viona yang dari tadi mondar mandir,memikirkan saran untuk untuk Bunga.

“Aduh, kalo sama mantan  rasanya susah vi. Kebawa gengsi gwnya,” jawab Bunga  sambil berpikir.

“Tapi bung, yang gw liat dari gerak gerik si Alex. Dia masih mau kok nyapa lo duluan udah gitu ngobrol sama lo,seakan-akan gaada ada apa-apa sama dia,” jawabku

BREATHE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang