Enam belas

1K 23 0
                                    

"PENGECUT!" teriak seseorang dari jauh, dari arah belakang. Sontak ari membalikkan badan. Matanya melebar saat mengetahui siapa yang berteriak tadi. Tari berjalan mendekati Ari. Kini mereka telah berdiri berhadapan yang jaraknya kurang lebih dua meter.
"LO PENGECUT! LO PECUNDANG! BANCI!" teriak Tari. Sengaja, dia ingin melihat bagaimana Ari menanggapi ucapnya tadi. Ari berjalan mendekat.
"Maksud lo apa?" tanya Ari tajam.
"Lo masih tanya maksud gue apa?!" tanya Tari tak kalah tajam.
"Gue tanya sama lo sekarang. Kalo ada orang yang lari dari masalah, pantesnya dipangil apa? hah? apa gue salah manggil pengecut? bilang ke gue, dimana letak kesalahan gue!" ucap Tari tajam. Tapi tatapannya sangat lembut. Ari melihat sorot mata itu. Ari menatap Tari dengan tatapan tak mengerti.
"Jawab gue! apa gue salah manggil lo pengecut?" tanya Tari mencecar dengan suara sedikit melembut.
"Gue gak ngerti apa maksud lo? kenapa lo bilang gue pengecut?!" tanya Ari, karena dia memang belum mengerti maksud dari ucapan Tari.
"Gue udah tau semuanya kak" ucap Tari langsung. Sontak alis Ari bertaut. Masih tidak mengerti.
"Maksud lo?" tanya Ari polos.
"Duh kak. Jangan tambah bego deh" ucap Tari. Ari tidak menjawab, dia hanya memandang Tari dengan pandangan benar benar bingung.
"Maafin gue kak" ucap Tari dengan suara lirih dan sorot mata menyesal.
"Maaf? buat apa?" tanya Ari lagi. Tari benar benar membuatnya bingung.
"Karena gue gak dengerin penjelasan lo" jawab Tari. Entah otak dari mana, tiba tiba saja kalimat Tari barusan membuat Ari mengerti maksud ucapan Tari dari awal.
"Gue yang seharusnya minta maaf" ucap Ari dengan suara pelan.
"Lo gak salah kak. Gue terlalu bego, gue lebih percaya sama logika ketimbang hati" ucap Tari lirih
"Maaf Tar, gak seharusnya gue meluk tuh cewek" ucap Ari dengan suara menyesal.
"Kak, gue tau itu bukan kemauan lo" ucap Tari. Ucapan Ari barusan, membuatnya semakin merasa bersalah. Tari tidak bisa mengendalikan dirinya. Tari langsung memeluk Ari. Dia rindu dengan sosok Ari. Dia sadar, dia tidak bisa kehilangan Ari. Menghilangnya cowok itu beberapa minggu ini, membuatnya tersiksa. Tari hampa tanpa Ari.
"Jangan pergi" ucap Tari dengan suara lirih. Ari tidak menyangka kalau Tari akan memintanya untuk tidak pergi. Ari membeku. Cowok itu tidak mampu berkata apa apa. Tari lalu melepaskan pelukannya saat sadar, kalau Ari tidak membalas pelukan itu.
"Gue bego. Coba aja waktu itu gue dengerin penjelasan lo, mungkin semuanya gak akan kayak gini. Gue terlalu egois. Sampe gue gak sadar kalo keegoisan gue bikin lo pergi. Sekarang gue bisa apa? gue udah bikin kesalahan fatal. Sekarang pensil warna itu patah, gambar itu gak akan pernah bisa diwarnai lagi" ucap Tari dengan tangis histeris. Ari menghapus air mata itu.
"Shutt jangan nangis" ucapnya sambil menghapus Air mata Tari yang mengalir deras dipipinya. Ari langsung memeluk Tari. Dia membiarkan air mata itu jatuh di dadanya.
"Makasih banyak selama ini lo udah mau nemenin gue. Lo udah mau nerima gue jadi cowok lo. Maaf karena gue sering buat lo nangis. Gue sering buat lo sakit. Maaf selama 7 hari gue ngilang tanpa kabar. Lo bener, selama 7 hari gue emang sama tuh cewek. Tapi asal lo tau Tar, gue gak akan pernah berpaling dari lo. Gue gak akan pernah buat lo kecewa. Gue gak akan pernah hancurin kepercayaan yang udah lo kasih. Gue bahagia punya cewek kayak lo. Lo yang dengan sabarnya ngadepin sikap gue, lo yang selalu ada buat gue, dan lo yang gak pernah capek marahin gue kalo gue salah" ucap Ari tulus. Ari lalu melepaskan pelukannya. Saat ini Tari sudah merasa sedikit lega, walaupun masih ada air mata yang jatuh dipipinya.
"Shutt, jangan nangis lagi. Gue gak bisa liat orang yang gue sayang nangis" ucap Ari menenangkan Tari. Ari menunggunya sampai cewek itu benar benar berhenti nangis.
"Apa lo akan tinggalin gue?" tanya Tari setelah berhenti nangis.
"Pertanyaan bego" jawab Ari kalem. Sontak Tari menautkan alisnya memasang wajah bingung.
"Gue gak mungkin tinggalin lo" lanjut Ari.
"Tapi, kenapa beberapa minggu ini lo pergi?" tanya Tari bodoh. Jelas jelas dia yang meminta Ari pergi.
"Lo lupa? kan lo sendiri yang minta gue pergi" jawab Ari mengingatkan Tari.
"Maafin gue kak. Gue..gue gak bisa jauh dari lo. Gue..gak mau lo pergi. Gue sadar, gue salah" ucap tari terbata dengan kepala memandang kaki. Ari tersenyum dalam hati.
"Lo barusan ngomong sama siapa? hmm? cacing?" tanya Ari, karena cewek itu bicara dengan kepada menunduk. Sontak Tari menaikan kepala. Memandang wajah Ari. Ari lalu memeluknya.
"Tar, gue paham. Lo marah karena cemburu. Lo bener, seharusnya gue sadar kalo gue punya lo" ucap Ari.
"Jangan pergi kak. Gue gak mau kehilangan lo" ucap Tari tulus. Ari bahagia mendengarnya. Tapi bukan Ari namanya kalau tidak mengerjai Tari.
"Gue gak bisa" ucap Ari dengan nada yang dibuat sedih. Tepat dugaan, Tari kaget dan lansung melepaskan pelukannya.
"Kenapa?" tanya Tari polos. Ari hanya diam dengan dengan memasang wajah yang dibuat sesedih mungkin. Padahal aslinya dia sangat bahagia.
"Bilang ke gue, apa yang harus gue lakukan supaya lo gak pergi?" ucap Tari cepat dengan wajah sedih. Tawa Ari meledak. Tari bingung setengah mati. Apa yang lucu? kenapa Ari tertawa? pertanyaan itu terngiang ngiang di dalam kepala Tari.
"Kenapa?" tanya Tari setelah Ari berhenti tertawa.
"Gpp" jawab Ari singkat sambil mengelengkan kepala dan senyum dibibir. Ari benar benar membuat Tari semakin bingung.
"Segitu takutnya lo kehilangan gue? kayaknya lo sayang banget ya sama gue" ucap Ari kalem. Saat ini, cowok itu telah memegang kartu AS nya Tari.
"Geer" jawab Tari bohong. Matanya, mengiyakan ucapan Ari. Ari dapat melihat mata itu.
"Gitu ya? yaudah gue pergi aja" ucap Ari sambil melangkahkan kakinya.
"Jangan kak" ucap Tari cepat sambil mencekal tangan Ari.
"Jadi?" tanya Ari menghadap wajah Tari.

Jingga Untuk Matahari *fanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang