Bunda mengerutkan keningnya, pertanyaannya mengejutkan gue. "Siapa Jaehyun?"
Gue mengerjapkan mata beberapa kali, "Jaehyun... temen aku! Te-temen aku dari kecil!"
"Bunda nggak tahu siapa Jaehyun... Kamu minum pil lagi, ya?" tanya Bunda sambil menegakkan tubuhnya.
"Masa Bunda nggak kenal dia? Dia sering main bareng aku dari dulu sampe sekarang!"
Bunda hanya berkedip sekali dan menggelengkan kepalanya, "Yang Bunda tahu kamu itu selalu main sendiri. Kamu jarang pergi atau main bareng orang lain selain Winwin."
"T-tapi kata Bunda sama Ayah dia kesini tadi! Katanya dia sakit dan, dan........." gue pun terjatuh di lantai dan air mata gue keluar lagi. "Dia ada..." bisik gue perlahan.
"Tasya, kamu kenapa, sih? Apa perlu ke dokter?" tanya Ayah dengan suara penuh kekhawatiran. Sementara itu gue hanya terisak dan menggelengkan kepala gue. Lalu gue berdiri dan berlari ke kamar gue.
Gue berlari menaikki tangga sambil masih menangis. Dan gue terjatuh lagi setelah melongkapi dua anak tangga, "Tasya..." gue bisa mendengar Bunda yang menyebutkan nama gue tetapi gue sama sekali nggak mendongak atau menoleh kearahnya. Gue bisa merasakan tangan dingin di lengan gue dan pelan-pelan gue diangkat. Tetapi gue bisa menepis siapapun pemilik tangan itu dan berlari lagi menuju kamar.
Gue pun bersandar di pintu kamar setelah menutupnya, merosot di kayu pintunya dan terduduk di lantai kamar yang dingin. Gue benci. Gue benci hidup gue. Gue benci semuanya dari awal. Tetapi rasanya kaya apapun yang terjadi sama gue, tetap aja nggak cukup untuk memuaskan gue. Gue pun menghela napas dan membenamkan wajah gue di kedua tangan, mengingat-ingat waktu dimana pertama kalinya gue bertemu Jaehyun, pertama kalinya gue main sama dia, pertama kalinya gue jalan bareng.
Semuanya itu nggak nyata, palsu. Jaehyun nggak pernah ada. Ada apa sih sebenarnya?
Jutaan pertanyaan memenuhi pikiran gue seraya jutaan air mata yang turun dan membasahi pipi gue.
Kenapa kehidupan selalu membodoh-bodohi kita dengan khayalan-khayalan kaya begini?
Dan untuk keberapa kalinya, gue mengalami patah hati yang paling buruk. Patah hati yang gue selalu harapkan gue nggak pernah akan merasakannya. Gue benci fakta dimana Jaehyun itu sama sekali nggak nyata, gue benci karena pikiran gue cuma ngisengin gue selama ini.
Gue benci karena gue nggak bisa bilang ke Jaehyun perasaan gue ke dia selama ini.
--------------------------------------
Hari demi hari terlewati, dan Tasya menolak untuk keluar dari kamarnya. Dia cuma berbaring di kasur, tanpa emosi dan nggak bisa ngerasain apa-apa setiap malem, dan nangis sampe dirinya ketiduran. Kedua orangtua dan adik-adik Tasya mulai khawatir. Mereka selalu berbaris di depan kamar Tasya sambil menguping, mendengar suara isakan dari sisi yang berlawanan. Mereka semua bingung dengan apa yang terjadi, walaupun Bunda dan Ayah sebenarnya tahu, tetapi apapun itu, mereka semua tetap khawatir.
Dan akhirnya Bunda dan Ayah memutuskan untuk menelpon Winwin, menceritakan semua yang terjadi. Tak beberapa lama kemudian, Winwin datang. Wajahnya khawatir. Orangtua Tasya sangat berharap kepada Winwin, maka dari itu Winwin segera menyetujui permintaan mereka saat di telpon tadi.
Saat ia sudah berdiri di anak tangga paling atas, dia menemukan gadis yang sedang patah hati itu keluar dari kamarnya.
"Tasya," panggilnya, membuat Tasya menghentikan langkahnya. Winwin segera menghampirinya dan memeriksa gadis itu dari atas sampai bawah.
"Lo nggak apa-apa kan? Lo tau nggak sih kita semua khawatir?" Tasya hanya menatap lantai dibawahnya dan tidak menjawab. Winwin mendesah dan kembali menatap gadis di depannya. Dia merasa nggak berguna karena dia nggak bisa melakukan apa-apa untuk menghibur gadis ini.
"Lo pasti sakit hati banget tentang... orang yang tiba-tiba ngilang itu, kan?" tanya Winwin, sedikit takut untuk menyebutkan nama Jaehyun, karena bisa saja gadis itu menangis lagi.
"Kita ngomong dulu yuk, Tafasya? Di kamar aja, ya." ajaknya seraya mengambil tangan Tasya dan menuntunnya untuk masuk lagi ke dalam kamarnya.
--------------------------------------
Tasya menghela napas saat Winwin duduk di sebelahnya diatas kasur, sambil membolak-balikan buku sains milik adik gadis itu. "Dia ngilang tiba-tiba, ya?" tanya Winwin dan Tasya mengangguk. Winwin pun menghela napas berat, "Gimana kalo misal gue bilang sama lo, kalo semua ini cuma ilusi lo?" tanya Winwin lagi dan Tasya hanya menatapnya bingung. "Kalo Jaehyun itu sama sekali nggak nyata?"
Tasya pun menunduk dan tertawa kecil, "Gue tau kok."
"Ini bisa jadi karena pil yang suka lo minum tiap malem, tapi besar kemungkinannya adalah karena stress. Lo butuh bantuan untuk keluar dari semua keruwetan yang ada di kepala lo. Kemudian otak lo membuat orang ini yang nggak bener-bener ada, tapi mungkin lo cuma menggambarkan seseorang yang menjadi bagian penting di hidup lo di masa lalu. Otak lo membuat Jaehyun, dan dia ngebantuin ngilangin stress lo. Lo pikir dia adalah orang yang selama ini jadi kekuatan lo, tapi nyatanya orang yang dibuat oleh pikiran lo ini semacam hati nurani lo sendiri. Dia yang menyuruh lo untuk melakukan hal-hal tersebut supaya hidup lo lebih baik."
"Tapi gimana kalo dia nyata?" Tasya mempertanyakan.
Winwin mendongakkan wajahnya, "Nggak mungkin lah. Nggak ada yang pernah lihat dia atau ngomong sama dia. Bisa jadi dia ada, tapi mungkin dia nggak kenal lo sama sekali."
Sekali lagi Tasya menghela napas dan memeluk kedua lututnya, "Gue tau hidup itu ngebingungin." kata Winwin. "Tapi bukan berarti hidup lo berakhir. Walaupun Jaehyun udah nggak ada, buka berarti lo kembali dengan gaya hidup lo sebelum dia dateng. Satu-satunya alasan kenapa dia dateng adalah karena lo butuh istirahat dari semua ini. Kalo dia nggak dateng, mungkin lo bakal gila karena stress berat."
"Wajar kok untuk orang jatuh cinta sama figur yang mereka buat sendiri dalam pikirannya. Tapi lo pasti bisa menemukan orang yang seperti bikinan otak lo itu, lo cuma harus sabar."
Tasya memejamkan matanya dan membiarkan air matanya jatuh, ia kemudian bersandar di lengan Winwin dan mulai menangis. Winwin menghela napas dan merangkul gadis yang telah menjadi sahabatnya sejak taman kanak-kanak itu.
Winwin tahu bahwa Tasya mulai mengonsumsi pil yang pada awalnya hanya untuk menjadi penahan tidur agak Tasya bisa belajar sampai larut malam sejak SMP. Di umur yang masih awal belasan tahun itu, Tasya telah mengalami beberapa hal berat seperti bullying karena Tasya merupakan anak yang cuek dan cenderung pendiam maka dari itu beberapa anak mulai mengganggunya.
Awalnya Tasya tidak pernah mengindahkan gangguan-gangguan itu, tetapi seiring berjalannya waktu gangguan-gangguan itu semakin parah. Dan yang paling parahnya adalah masalah keluarga. Orangtuanya sempat bertengkar hebat dan cerai di tahun kedua SMPnya. Saat itu lah dimana Tasya mulai sadar bahwa ia menyukai Jaehyun, orang yang dibuat oleh pikirannya sendiri, karena saat-saat itulah Tasya paling membutuhkan cowok itu.
Setelah pisah SMA dan bertemu lagi di kampus yang sama. Beberapa kali Bunda Tasya meminta Winwin untuk menjaga Tasya karena kehidupan SMA Tasya tidak berjalan begitu baik dan gadis itu mulai mengonsumsi pil-pilnya lagi. Dan entah kenapa semuanya makin parah. Bunda menerima laporan dari asisten rumah tangganya bahwa setelah Tasya pulang dari kampus diantar oleh seorang anak SMA, gadis itu sempat menangis sampai sesenggukan dan menjerit beberapa kali.
Winwin merasa sangat tidak tega dengan apa yang dialami oleh gadis yang sekarang berada di pelukannya itu. Winwin sampai kehabisan kata-kata saat beberapa waktu lalu Tasya menghampirinya dan menanyakan keberadaan Jaehyun. Maka dari itu tiba-tiba Winwin memeluk gadis itu dengan erat karena Winwin merasa sangat khawatir.
Selama ini Winwin terpaksa berbohong, selama ini Winwin terpaksa mengikuti alur main Tasya yang beranggapan bahwa Jaehyun itu ada dan nyata.
Cowok itu menundukkan kepalanya untuk melihat kearah gadis yang masih belum berhenti menangis itu. Pasti rasanya sakit sekali ketika menyadari bahwa apa yang dimilikinya selama ini hanyalah halusinasinya semata.
"Percaya aja sama diri sendiri, Sya. Move on and set the past aside."