*constant POV change*
"Hari ini kuliah, kan?"
Gue menganggukan kepala lemah, tanda mengiyakan pertanyaan yang dilontarkan oleh Winwin. Udah 3 bulan semenjak kejadian itu, dan bisa dibilang keadaan gue berangsur-angsur mulai membaik. Sementara itu gue mulai masuk kuliah lagi sekitar 3 minggu yang lalu--hampir sebulan yang lalu malah.
Kalau menurut Winwin nggak ada yang berubah di kampus, menurut gue ada. Dan itu perubahan besar. Nggak ada lagi orang yang selalu nungguin gue selesai kelas di depan ruangan, nggak ada lagi orang yang merengek pingin minum tora*bika cappuccino, nggak ada lagi orang yang selalu ngetekin kepala gue. Saat yang seharusnya ada Jaehyun, sekarang malah nggak ada. Dan gue kerap kali merasa aneh, merasa kurang.
Ketika gue masuk untuk yang pertama kalinya lagi setelah 2 bulan memboloskan diri, hampir semua orang yang gue kenal termasuk dosen dan bahkan Asep sekalipun menanyakan keberadaan gue selama ini. Awalnya gue nggak bisa menjawab pertanyaan mereka, apalagi saat itu ingatan gue mengenai Jaehyun yang hilang masih mateng-matengnya. Gue berusaha untuk terbiasa dengan atmosfer seperti ini, tetapi satu yang nggak bisa gue lupain adalah the feeling of being protected. Gue selalu bilang kepada diri gue sendiri untuk move on, dan gue pasti akan baik-baik aja.
Sementara Winwin ngebantuin gue untuk menyiapkan seluruh peralatan ke kampus, gue berjalan kearah kaca tempat dimana gue biasa berdandan dan bersiap-siap. Gue memerhatikan refleksi tubuh gue dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dan saat itu gue baru sadar kalau gue kehilangan banyak berat badan.
Oh ya, gue belum cerita mengenai Winwin yang selama 3 bulan ini banyak membantu gue. Hampir setiap hari cowok itu datang ke rumah gue, kadang cuma sekedar untuk menanyakan gimana keadaan gue hari itu, kadang dia juga bawa makanan, dan sesekali Bunda sama Ayah menyuruh Winwin untuk menginap karena ada kalanya perasaan itu menghujam gue.
Nggak jarang juga Bunda dan Ayah menyarankan (atau lebih tepatnya) mengajak gue untuk pergi ke psikiater just to make sure kalo gue udah bener-bener baik-baik aja. Dan tentu aja gue tolak. Kadang mereka meminta Winwin supaya bisa menghasut gue, tetapi tetep aja nggak berhasil.
Yang hilang biarlah hilang. Walaupun di satu sisi gue masih belum rela, gue tetep aja nggak bisa melakukan apa-apa.
"Masih jam 3 kelasnya, ikut gue temenin Kun ngopi dulu, yuk?" ajak Winwin. Gue akhirnya menoleh kearah Winwin yang sekarang udah berdiri di belakang gue sambil mengulurkan ransel hitam kecil yang udah berisi perkakas kampus dan nggak lupa dengan pouch kecil bermotif gajah-gajah berisi liptint dan segala macemnya.
Gue menerima tas itu dan mengangguk kecil. Winwin udah terbiasa dengan gue yang jadi irit bicara sejak kejadian itu. Dan dia sama sekali nggak protes. Berbeda dengan temen-temen gue di kampus yang mulai jengkel karena gue jarang merespon obrolan atau perkataan mereka dengan kata-kata. Winwin nggak memaksa gue untuk menjadi terpaksa, dan gue sangat berterima kasih akan itu.
Gue masih sangat amat bersyukur karena anak-anak BGB bukan termasuk ilusi gue juga. Gue mulai mempertanyakan keaslian dan ke-ada-an semua hal yang gue alami atau gue temui. Tapi ini pertama kalinya lagi gue bertemu Kak Kun setelah beberapa lama, dan saat gue melihat batang hidungnya, gue refleks menggenggam erat lengan Winwin.
Kak Kun tertawa kecil melihat kelakuan gue, karena dia nggak tahu apa-apa, "Kok lo kaya takut gitu ketemu gue, sih?"
Winwin menepuk-nepuk tangan gue pelan seperti sedang berkata 'nggak apa-apa kok'. Dan tameng gue langsung runtuh saat itu juga. Kak Kun nyata, gue nggak perlu takut.
Setelah gue mendudukan diri berhadap-hadapan dengan Kak Kun, Winwin berjalan kearah kasir untuk memesan minuman untuk dirinya dan gue.
Saat Winwin pergi, Kak Kun kemudian memajukan tubuh bagian atasnya sambil memperhatikan gue. Kedua matanya sedikit menyipit tanda dia sedang men-scan gue dan berusaha menemukan sesuatu.
"Lo kurusan, ya?" tanya Kak Kun pelan, dan gue jawab dengan anggukan kecil. "Itu dark circles lo juga ketara banget," tambahnya lagi seraya makin mendekatkan wajahnya untuk memerhatikan muka gue dengan lebih jelas. "Mata lo bengkak lagi."
"Lo baru semester segini aja udah babak belur gitu, gimana nanti?" ujar Kak Kun diakhiri dengan tertawaan geli. Dalam hati gue bersyukur karena Kak Kun bukan tipe orang yang ngenye kaya Kak Ten. Setidaknya dia menganggap perubahan gue itu karena kuliah, bukan karena orang itu.
Nggak lama setelah Winwin dateng dengan pesanannya, gue mendengar pintu kafe terbuka dan tertutup kembali. Awalnya gue nggak peduli dengan suara tersebut karena gue udah mendengar kira-kira 7 kali suara pintu kafe kebuka dan ketutup sejak gue sampe.
"Satu hot cappuccino dan plain bagel. Di take away aja ya, mas." dan yang untuk kali ini, gue nggak sengaja mendengar pelanggan itu menyebutkan pesanannya. Dan suaranya... se-familiar itu. Entah kenapa rasanya gue ingin memutar kepala gue untuk melihat siapa orang yang memesan, tetapi otak gue menolak untuk berkordinasi. Jadi gue lebih memilih untuk menghabiskan cheesecake yang dipesankan Winwin untuk gue.
"Pelan-pelan makannya," kata Winwin seraya mengulurkan tangannya untuk melap sisa cheesecake yang ada di sudut bibir gue.
Mata gue melirik sekilas kearah Winwin yang sekarang sudah menarik kembali tangannya, "Laper." sahut gue pelan.
Gue bisa merasakan Winwin tersenyum ketika mendengar suara gue keluar walaupun cuma sedikit dan pelan. Ia kemudian mengacak-acak rambut gue gemas sebelum akhirnya kembali melanjutkan obrolannya dengan Kak Kun.
Beberapa saat kemudian, gue mendengar pintu kafe terbuka lagi, dan kali ini suaranya terdengar dari dalam. Dengan gesit gue menoleh kearah pintu yang sekarang menampilkan punggung bidang dari seorang cowok yang memakai sweater hitam dengan dalaman kemeja putih. Rambut hitamnya sedikit acak-acakan, tetapi tetap terlihat bagus-bagus aja di dia. Mata gue menyipit untuk memperhatikan lesung pipi familiar yang terlihat saat cowok itu menarik bibirnya menjadi senyuman ketika satpam yang berada di depan kafe itu menunduk dan tersenyum kearah cowok itu.
Then there it is, hati gue rasanya mencelos begitu cowok itu memasuki mobil Mazda hitamnya dan sekarang hilang dari pandangan gue.
Rasanya gue pernah ketemu cowok itu, tapi kayanya juga nggak pernah. Tapi kenapa dia kayanya familiar banget?
-------------------------------------
2 minggu kemudian, untuk pertama kalinya gue mengiyakan tawaran Bunda untuk pergi ke psikiater karena gue mulai mengalami mimpi-mimpi aneh yang menampilkan seorang cowok yang nggak gue kenal, tetapi rasanya kaya kenal. Anehnya cowok itu selalu membelakangi gue, dan setiap kali gue mencoba untuk deketin, dia pasti hilang.
Bukan, gue yakin itu bukan Jaehyun. Jaehyun nggak nyata, ingat? Dia nggak ada.
Sesampainya di rumah sakit, Bunda membiarkan gue bertemu dengan psikiaternya secara 4 mata. Gue menatap Bunda dengan pandangan "jangan tinggalin aku", tapi Bunda bersikeras karena apapun yang terjadi, gue sendiri lah yang paling bisa menjelaskannya. Dan akhirnya gue mengangguk pasrah dan masuk kedalam ruangan.
Beruntung psikiater yang ini bisa dibilang pengertian. Beliau mau mendengarkan gue dan lebih mengutamakan kenyamanan gue sendiri. Dibandingkan beberapa psikiater yang pernah gue temui saat SMP dulu, kebanyakan dari mereka sotoy karena beranggapan gue masih kecil.
"Mendengar cerita kamu, saya jadi inget pasien yang dua hari lalu datang kesini." kata psikiater itu sambil setengah tersenyum.
"Emangnya dia kenapa, dok?" tanya gue penasaran kepada psikiater itu.
Kemudian psikiater itu menghela napas ringan, "Saya nggak bisa ceritain. Tapi dia anak laki-laki, seumuran kamu. Dia ada janji lagi ketemu saya setelah ini. Mungkin nanti kamu bisa ketemu dia? Karena dari yang saya dengar kemarin, cerita dia hampir mirip sama kamu."
Setelahnya, gue langsung penasaran dengan cowok itu.