Gabby POV
Pemandangan pertama yang kulihat ketika masuk ke dalam rumah adalah Dad. Dia sedang meringkuk di atas sofa dengan beberapa sampah beer berserakan di lantai. Satu tangannya dia gunakan sebagai tumpuan kepala, tangan lainnya terkulai lemas di atas lantai. Aku melirik jam yang menempel di dinding, heran karena tidak biasanya Dad sudah berada di rumah jam 22.40. Dad biasanya selalu pulang lewat tengah malam semenjak kejadian mengerikan yang hampir dia lakukan kepadaku.
"Apa yang terjadi padamu?" Aku tahu Dad tidak akan menjawab, karena jika Dad mampu menjawab, aku tidak akan bertanya sama sekali. Hatiku selalu sakit mengetahui hubungan kami menjadi seperti ini, rasanya seperti semua hal di rumah ini ikut lenyap bersama jasad Mom.
Kuhembuskan napas perlahan, memulai membersihkan ruang tamu. Mengambil semua kaleng beer kosong, dan membuangnya ke tempat sampah yang berada di luar rumah. Ketika aku kembali masuk, Dad sudah mengganti posisi tidurnya, membuatku dapat melihat sesuatu di dekat punggungnya. Seperti selembar kertas.
Aku kembali mendekati Dad, mengambil kertas tersebut lalu membukanya. Keningku berkerut melihat tulisan;
"Aku merindukanmu sekaligus tidak. Aku ingin dia memaafkanku tapi tidak bisa. Aku tidak termaafkan, begitupula dirimu."Aku mencoba untuk memahami makna tulisan tersebut, tapi kupikir Dad dalam keadaan mabuk ketika menuliskannya. Mungkin saja Dad melakukan kesalahan terhadap teman jalangnya, sehingga mereka bertengkar, karena sangat jelas malam ini dia ada di rumah. Meskipun pemikiranku berkata demikian, aku tetap menyimpan tulisannya.
•••
Seseorang mengetuk pintu kelas, membuat perhatianku tertuju kepada satu-satunya benda yang berbunyi di kelas Mr. Mulligan. Asal kalian tahu saja, kelas ini selalu sunyi senyap kecuali ketika Mr. Mulligan mengoceh tentang antropologi. Dia tipe guru yang membenci bunyi menganggu, seperti sekarang ini.
Mr. Mulligan menggeram lalu bangkit dari bangkunya, berjalan lambat ke arah pintu. Seseorang mengatakan sesuatu padanya sehingga dia mengedarkan pandangan ke seluruh murid, sampai pada akhirnya mata kami berserobok.
"Westbrook, kau dipanggil ke ruang konseling." Katanya lalu segera berbalik kembali ke bangkunya. Aku memutar bola mata, kesal karena Mr. Prescott terus menerus ingin bertatap muka denganku selama nyaris satu minggu ini, aku muak.
Aku sudah berterimakasih padanya karena telah menolongku sekaligus mengantarku pulang, bahkan aku sudah mengembalikan jas miliknya. Menurutku itu semua sudah bisa dikatakan cukup, aku tidak akan pernah mengatakan siapa murid yang membuatku terluka juga nyaris telanjang. Seharusnya dia sadar betapa keras kepalanya diriku.
"Westbrook." Mr. Mulligan menurunkan bingkai kacamatanya, menungguku untuk segera bangkit dan minggat dari kelasnya. Kuhembuskan napas jengah, segera mengambil ransel dan bersiap masuk ke ruangan yang selalu memiliki aroma lavender tiap kali pintu terbuka.
•••
"Ini sudah yang kesekian kalinya aku berkata tidak akan memberitahu anda siapa pelakunya." Ucapku ketika aku sudah menutup pintu ruang konseling. Tanpa basa-basi juga tanpa menunggunya untuk menyuruhku duduk.
"Gabby," mungkin Mr. Prescott sudah lelah memanggilku dengan formal, karena sekarang sikapku tidak menunjukan sopan santun. "Aku hampir gila mengira-ngira siapa yang melakukan hal bodoh itu padamu." lanjutnya sembari mencengkram tengkuk.
"Aku sangat yakin kau tidak akan gila, Ryan." Matanya seketika tertuju padaku, dia marah karena kali ini aku sama sekali tidak menaruh hormat padanya sebagai guru.
"Perhatikan kata-katamu, Westbrook." Dia mencoba untuk kembali formal.
"Oh ayolah," aku melambaikan tangan ke atas. "Kau bukan ayahku, aku tidak perlu berlaku sopan kepadamu. Aku muak, Ryan! Aku muak! Aku muak sekolah disini, aku benci harus menunggu satu tahun sebelum aku benar-benar lulus. Tidak bisakah kau membiarkanku untuk menjalani satu tahun dengan tenang?" Kusugar rambut lalu berkacak pinggang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Reputation [S•M] [COMPLETED]
FanfictionBerawal dari sticky note, mereka saling mengenal. Shawn tidak peduli dengan reputasi yang dimiliki oleh Gabby, dia hanya peduli bahwa hatinya sudah jatuh tepat di depan loker yang penuh dengan kertas warna-warni. Shawn rela mengambil resiko sebanyak...