14

1.7K 171 22
                                    

Shawn POV

"Apa kau tahu, sayang?" Tanya Dad kepada Mom, membuat wanita itu berhenti mengolesi selai di rotinya. "Remaja zaman sekarang sedikit aneh. Kemarin aku melihat sepasang kekasih sedang bercumbu di depan rumah yang mungkin milik orang tua salah satu dari mereka." Perkataan Dad membuat tubuhku beku seketika. Kenapa dia selalu menyindir anaknya di depan seluruh anggota keluarga?

"Manny, anak-anakmu mendengarnya." Protes Mom dengan tatapan tajam. Aaliyah tetap memakan serealnya, tidak terlalu ambil pusing dengan perbincangan mereka.

"Justru itu, aku mengatakannya di hadapan mereka agar mereka tidak melakukannya." Dad melipat koran pagi, menyimpannya di samping piring, lalu menatap ke arahku. "Kau paham, Mendes?" Kedua alisnya terangkat, menungguku menjawab.

"Mm.. Tentu." Aku mengedikkan bahu, menyimpan sisa rotiku di atas piring. "Sepertinya aku terlambat." Aku hendak bangkit tapi Mom menahan tanganku.

"Kau harus menyelesaikan sarapannya, Shawn." Mom menatapku tegas, dia tidak pernah suka melihat salah satu anggota keluarga meinggalkan meja makan sebelum waktunya.

"Aku akan memakan sesuatu di cafetaria nanti siang." Ucapku lalu melepas tangan Mom dengan perlahan. "Aku pergi dulu, kawan." Kukepalkan tangan di hadapan Aaliyah, dia melakukan hal yang sama, melakukan tos ala kami.

Dad menaikan satu alisnya, tanpa suara mengatakan. "Gotcha." Dan aku bersumpah akan membenci tatapan itu. Aku memutar bola mata lalu menggeleng, tanpa suara mengatakan "well, nice try Dad." Kemudian segera melangkah ke arah pintu depan, tidak lupa untuk mengambil ransel dan kunci mobil di ruang tamu.

Setelah berada di luar rumah, aku sedikit bimbang  harus memberi kabar kepada Gabby atau tidak. Apakah kami sudah resmi berpacaran? Apakah Gabby berpikir ciuman hanya sekedar ciuman tanpa embel-embel kekasih menyertai? Ah perutku sedikit melilit kembali mengingat kejadian kemarin malam.

Kugelengkan kepala, mulai masuk ke dalam mobil. Kusimpan ransel di jok belakang, lalu mengambil ponsel untuk menghubungi Gabby.

"Hey." Sapanya yang membuat senyumku merekah.

"Hey," balasku. "Apa hari ini kau akan membolos?" Kudengar Gabby tertawa renyah. Astaga, aku sangat merindukannya.

"Mungkin hari ini aku akan pergi sekolah."

"Mau pergi bersamaku?" Ku ketuk roda pengemudi beberapa kali, sedikit gugup mengajaknya berangkat sekolah bersama.

"Aku masih harus melakukan sesuatu, mungkin akan sedikit terlambat. Kau tidak perlu menungguku."

Aku menghela napas kecewa, tapi setidaknya dia kembali berangkat ke sekolah. "Apa kau butuh bantuan?"

Gabby kembali tertawa, "tidak, aku baik-baik saja."

"Oke," kugigit bibir bawahku, bingung bagaimana cara memutus sambungan telepon kami. "Aku harus pergi sekarang."

"Oke."

"Mm.. Gabby?" Kurasakan jantungku berdetak sangat cepat.

"Ya?" Dia terdengar ragu-ragu.

"I love you." Untuk sedetik jantungku berhenti berdetak, rasanya melegakan sekaligus menyakitkan ketika Gabby hanya membalas dengan tawa, lalu panggilan terputus.

Aku bisa gila, ini memalukan. Sebelum bertemu dengan Gabby, aku pernah berkencan beberapa kali. Dan peraturannya adalah setiap ciuman pertama yang disertai kata "aku mencintaimu." Itu tandanya mereka sudah resmi berpacaran tanpa perlu menanyakannya ribuan kali. Ini alami. Apa mungkin aku keliru?

Bad Reputation [S•M] [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang