37

1.3K 154 34
                                    

Gabby POV

"Mom tahu loh ketika kau dicium oleh Shawn. Kau menamparnya kan? Tapi tidak Mom sangka ternyata kau naksir juga padanya." Ucap Mom yang masih menggenggam kedua tanganku.

"Kalian tampak serasi, Mom setuju kau berpacaran dengannya. Dia lelaki yang baik, juga tampan. Apa kau tidak merindukannya?" Lanjut Mom.

"Dia menghancurkan hidupku, Mom." Balasku perlahan, tidak yakin dengan jawabanku sendiri. Jujur saja aku memang merindukannya, tapi rasa rinduku kepada Mom dan Dad mampu mengalahkan segalanya.

"Kau tidak mendengarnya yang berkata bahwa dia tidak tahu apa-apa? Seharusnya kau percaya padanya, sayang. Shawn jujur padamu. Dia berusaha untuk mencari tahu pelakunya. Kau hanya perlu bersabar." Mom menyugar rambut panjangku kemudian tangannya turun untuk mengelus pipiku dengan lembut.

"Tapi aku takut untuk mempercayai seseorang lagi. Aku takut mereka melukaiku." Semakin lama, suaraku semakin lemah. Kugigit bibir bawahku untuk menahan air mata yang hendak menetes.

Mom menarikku kedalam pelukannya. "Kau harus lebih dewasa, Gabby. Sebagian orang hanya menua tiap tahunnya, dan aku tidak mau kau seperti itu. Kau harus berpikiran lebih dewasa. Semua ini hanya cobaan, semakin manusia diuji, maka semakin kuat pula mereka." Kurasakan tangannya mengelus rambutku, membuatku membalas pelukannya.

Aku menghela napas perlahan sebelum berbicara agar suaraku kembali normal. "Lalu apa yang harus kulakukan?"

"Kembali pada hidupmu. Kau berhak memiliki kehidupan yang lebih dari ini. Cobalah untuk berpikiran positif di setiap masalah yang kau lalui. Jangan seperti Mom, aku terlalu lemah untuk menghadapi semuanya. Kau gadis yang kuat, Gab. Mom percaya itu."

Aku mengerjap beberapa kali karena air mata yang menetes. "Apa Mom tidak merindukanku? Apa karena itu kau mengusirku?"

"Seorang ibu selalu menyayangi dan merindukan anaknya. Rasa rinduku terbayar selama satu minggu kau ada disini. Kau mewarnai hari-hari kami, kau membayar seluruh rasa rindu yang Mom pendam selama ini. Kau membuat rumah ini terasa lebih bercahaya. Terimakasih, Gabby. Kau selalu menjadi pahlawan bagiku dan ayahmu."

Aku mulai terisak. Hatiku pilu mendengar semua ucapannya, semakin dia bicara semakin sulit rasanya untuk meninggalkan Mom. Seharusnya dia tahu kalau hari-hariku lebih berarti dengan adanya mereka. Kenapa mereka berpikir kalau bunuh diri itu yang terbaik sedangkan faktanya mengatakan tidak?

"Yang dikatakan oleh ibumu benar, Gabby. Kau selalu menjadi pahlawan kami. Maafkan sikap Dad selama ini. Kau berhak mendapatkan seumur hidup untuk mengganti hari-hari yang Dad rusak." Aku melepas pelukan Mom kemudian menoleh ke samping, melihat Dad yang tiba-tiba duduk di ujung sofa.

"Dad," Aku kembali menangis. Rasanya sulit menghadapi semua ini. "Astaga, maafkan aku. Aku tidak bisa melakukan apapun untuk membuat kalian kembali bersamaku."

"Kami disini baik-baik saja, kau sudah melakukan hal yang terbaik hanya dengan hidup bahagia. Jangan lagi kau menangis. Dad benci melihat jagoan kecilku cengeng." Dad mencubit ujung hidungku perlahan.

"Apa aku tidak bisa lebih lama disini? Beberapa hari lagi?" Tanyaku sembari menoleh mereka bergantian.

"Tidak, ada yang menghawatirkanmu. Waktumu disini sudah cukup, kau harus kembali menjalani kehidupanmu." Mom mencium pipiku, disusul oleh Dad.

Aku terus menangis, tidak rela rasanya meninggalkan mereka. Terus menangis sampai ciuman mereka tidak lagi terasa di pipiku. Aku mulai panik, memberontak, dan seketika cahaya silau menusuk mataku.

Aku berusaha untuk mengatakan sesuatu atau sekedar menggerakan kaki dan tanganku. Tapi rasanya kebas, dan aku sulit bergerak.

"Berhasil." Ucap seseorang. Aku mencoba membuka mata lebih lebar, tapi cahaya tempat ini sangat menyilaukan. Kepalaku juga rasanya sangat sakit.

Bad Reputation [S•M] [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang