41

1.5K 127 15
                                    

Ryan POV

Sudah lebih dari tiga menit tanganku hanya diam di gagang pintu ruang milik Gabby. Aku tahu Shawn sudah melarang agar aku menceritakan yang sebenarnya kepada Gabby, tapi aku tidak tahan. Setiap malam aku menjaganya, dan tiap detik pula penyesalan menggerogoti tubuhku.

Aku tidak mau terapi dari Steve membuat Gabby melupakan semuanya sebelum dia mengerti kejadian yang sebenarnya. Aku hanya takut suatu hari pengakuan tersebut mampu merusaknya lagi, dan aku tidak mau melihatnya kesakitan terus menerus. Jadi daripada terlambat, lebih baik aku mengaku saat ini juga. Aku tidak peduli dengan apa yang akan dikatakan oleh Shawn nanti, aku hanya berharap dia mengerti bahwa maksudku baik.

Aku menghela napas beberapa kali sebelum akhirnya membuka pintu ruangan. Gabby dan Shawn seketika menoleh padaku. Mereka sedang bercanda, dan aku semakin merasa jahat karena akan merusak mood Gabby yang sudah susah payah Shawn bangun.

"Hey." Bisikku perlahan, lalu menyimpan barang-barang yang kubawa di atas meja.

Shawn bangkit lalu menoleh padaku. "Apa jalanan macet?" Tanyanya, sekedar basa-basi seperti biasa.

"Tidak, tapi Jane datang terlambat. Aku tidak bisa pergi sebelum Sky ditemani seseorang."

Shawn mengangguk lalu menggunakan jaketnya. "Apa lebih baik aku pergi sekarang?" Dia bertanya pada Gabby. Gadis itu sedikit cemberut tapi pada akhirnya mengangguk dengan senyum manisnya. Senyum yang sama seperti senyum Sky. Senyum ibu mereka.

"Aku akan kembali besok." Shawn menunduk kepada Gabby lalu mengecup bibir gadis itu sedikit lebih lama dari biasanya, sampai-sampai aku perlu berdehem agar mereka segera melepas ciumannya.

"Aku pergi, Ryan." Dia melambai padaku. Aku mengangguk lalu Shawn segera pergi keluar dari ruangan.

Seketika suasana menjadi sangat canggung. Aku tidak tahu harus memulai darimana. Kuhela napas perlahan untuk menghilangkan rasa gugup. "Gabby?" Panggilku dengan lembut.

"Hm?" Gadis itu menoleh padaku tanpa senyum sama sekali. Matanya menatapku lurus, sedikit merobohkan niat awalku.

"Begini, aku ingin membicarakan sesuatu." Aku menarik kursi mendekat lalu duduk dengan perlahan.

"Aku tidak bisa menjajikan hal apapun yang akan terjadi setelah kau bicara padaku." Sahutnya ketus. Akupun tidak bisa menjanjikan apapun setelah aku berbicara yang sebenarnya.

Kuusap wajahku perlahan, lalu mendesah kuat-kuat. "Tentang ibumu." Kulihat tangannya yang terkuali di atas kasur mulai mencengkram seprai. "Aku adalah kliennya beberapa tahun yang lalu."

"Lanjutkan." Desisnya saat aku berhenti bicara hanya untuk menghela napas.

"Dia penulis yang hebat. Aku tahu Lin dari temanku yang pernah dibantu olehnya dalam mengerjakan thesis. Saat itu aku sangat sibuk dengan pekerjaanku, maka dari itu aku meminta Lin untuk mengerjakan thesis milikku." Tenggorokanku rasanya kering seketika.
Aku berdehem perlahan. "Lin dan aku sering bertemu untuk membicarakan thesis. Pertemuan kami tidak memiliki batas waktu, 2 atau 3 jam biasanya, tapi kami memiliki jadwal tiap minggunya. Saat itu aku mabuk berat, dan aku lupa kalau hari itu adalah jadwal pertemuan kami."

Kening Gabby berkerut. Tatapannya sangat serius, membuatku merasa terpojok. "Kau mau aku melanjutkannya?" Tanyaku perlahan, dan Gabby mengangguk. "Aku mengacau. Saat itu aku baru saja putus dari kekasihku, karena itulah ketika Lin datang aku mengira dia adalah mantan kekasihku. Aku.." Aku menunduk, mengaitkan kedua tanganku sembari meremas-remas jari telunjukku. Bagaimana cara nengatakannya?

Bad Reputation [S•M] [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang