Kamu pernah bilang kepadaku bahwa, "Kamu akan lebih bahagia jika tidak lagi bersamaku."
Tetapi, apa kamu tahu? Aku tidak pernah merasa bahagia ketika tidak ada lagi sosokmu yang sering ada di sisiku. Kamu mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana aku selalu menunggumu, terlebih hanya demi menunggu sebuah pesan singkat yang beralamatkan dari kamu.
Namun sebenarnya, kalimat yang kamu utarakan di awal paragraf yang kutulis menjadi ketakutan terbesar dalam hidupku.
Ketakutanku benar. Ada seseorang lain yang membuat kamu lebih nyaman. Dan saat ini, hal itu terjadi di antara aku serta kamu --yang pernah menjadi salah satu pelengkap hari-hariku.
Sekarang, aku hanya bisa mengenang semua yang telah menjadi kenang. Sejuta kenangan manis itu, seolah berputar pada porosnya, tanpa pernah ingin berhenti. Aku masih giat mengingat tiap bait saat kita saling merekat. Bagai terikat oleh kait yang tidak ingin lepas. Namun kini, semua sirna seperti ombak di laut pasang. Rasa nyeri kerap meronta, tidak terima. Meski kini telah renggang, kenangan tidak mungkin bisa hilang, bukan?
Kini, aku sadar bahwa semuanya telah hilang, semua telah tak indah benderang. Tak ada lagi rasa suka riang. Hanya tetes luka yang terbungkam.
Lalu pada akhirnya, semua yang datang akan beranjak pulang, meninggalkan kenang. Tak ada tenang, namun terasa terang, sebab angan selalu ada, menjadi derang.
Tak ada raut hari ini. Hanya ada aku yang dibalut kalut sebab seseorang sudah tak tertaut kembali. Aku yang takut, ditemani hatinya yang berkabut. Lantas, apa aku harus ikut? Ikut membuang perasaan itu, perasaan yang telah dia bunuh meski aku teramat dalam menyayangi. Dia pamit untuk hilang, ketika aku sudah teramat sayang.
Kini, aku hanya menatap sendu langkahmu yang semakin menjauh. Yang terasa hanyalah kaku. Jiwa yang seakan menggebu-gebu, hanyalah imajinasi yang tak terpadu. Haruskah aku mencari tahu perihal mengapa hati ini begitu kelabu?
Sekarang, aku mencoba untuk bertahan sendiri, mengubur memori yang telah lama mati. Menahan sakitnya tercabik-cabik luka sendiri, meski tak sedikit harapanku menginginkan kamu untuk kembali. Lalu, akan kucoba untuk membunuh semua harap, lebih baik menerima dengan sigap, bahwa kenyataannya, kamu tak ingin lagi kudekap.
Berbalik memunggungi. Terus berjalan tanpa melihat lagi. Hilang sudah harap dalam diri. Terlalu lelah bertahan pada posisi.
Malam, malam, selamat malam. Mati sudah asa yang tertanam. Tak lagi ingin menanam, jika duri menggores luka dalam.
Sudah, sudah aku ikhlaskan. Tak akan lagi ada kesesakan. Sudah sadar bahwa ini semua tak mungkin dipaksakan.
Anggap kemarin kita hanya bertemu pada bangku persimpangan. Berbagi tawa yang berujung pertengkaran. Lalu inilah akhir. Pada persimpangan, kita jalan berlawanan.
Terima kasih untuk pertemuan itu. Terima kasih untuk satu menit tak tergantikan. Terima kasih telah menghunus hati dan memaksaku pergi pada rasa yang bahkan baru aku cicipi.
-exofr.
zee; tyf; al; yor; ve; ron; oss; shy

KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Memories
PoetryIni bukan sajak, bukan juga cerita. Hanya sebagai sampah untuk menampung apa yang ingin kubuang.