Cinta yang Sederhana 2

730 159 17
                                    

Yuki itu seperti oksigen yang harus selalu ada jika ingin bertahan. Seperti harapan jika ingin terus berjuang.
Mempertahankan rasa dengan ketidakmungkinan ini tidaklah gampang. Setiap orang butuh timbal balik kan?
Bukan berjuang sendiri walau terus dihantui kesakitan.
Kadang hatiku lelah karena terlalu rapuh menerima kenyataan bahwa aku itu sendiri, tidak berteman dan tidak diketahui.
Seperti lumpur di pakaian hitam, ada.  tapi,  samar.

******

Hari ini aku tidak masuk kerja karena tubuhku tiba-tiba tumbang minta jatah istirahat lebih. Suhu tubuhku panas. Tapi, badanku menggigil. Inilah saat dimana aku harus merasakan betapa tidak enaknya hidup sendiri. Andai punya teman, aku tidak perlu kesulitan. Pasti akan ada yang menjagaku. Itu terdengar seperti penyesalan, tapi percayalah, ini lebih baik.

Saat ini, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Terlalu banyak waktu yang kuhabiskan hanya dengan tidur . Harusnya aku mencari kegiatan selain bergumul dengan selimut, makan dan minum obat. Ya, keluar rumah.

Aku berdiri dengan sedikit limbung. Pusingku masih menyerang hebat. Aku sudah menghabiskan satu tablet obat dengan rasa terpaksa, tapi rupanya pusing ini tidak mau enyah juga. Sialan.
Hal positifnya adalah, badanku sudah tidak menggigil. Hanya itu saja sepertinya.

Aku melangkah pelan keluar seraya tangan tak lepas dari kepala. Khas orang pusing. Lalu, menyipitkan mata dari cahaya luar karena beberapa jam sebelumnya aku hanya diterangi lampu yang kubiarkan redup.
Cahaya matahari masih begitu semangat menyinari bumi. Aku duduk di kursi teras depan rumah. Bersandar lega sambil memejamkan mata.

" Kamu sabar sebentar lagi. Aku cuma butuh waktu yang tepat untuk jelasin ke dia. "

" Aku capek harus gini terus. Aku dihantui rasa bersalah. Dia sahabat aku. Atau aku yang akan lepasin kamu. "

" Nggak, aku cinta kamu. "

" Tapi ini nggak adil buat aku sama dia. Satu sisi kamu milik dia, dan sisi yang lain ada aku. "

" Aku mohon. Bersabarlah! "

Aku kembali memegang kepalaku karena nyeri. Mengingat kalimat yang beberapa hari lalu aku dengar dengan jelas itu membuat otakku semakin bekerja keras.
Ingin melupakan, tapi sulit.

[•••••]



Suara petir menggelegar memenuhi indra pendengaranku. Hujan deras yang tiba-tiba turun setengah jam yang lalu menyisakan gerimis dengan volume air yang bisa membuat pakaianku basah jika lima menit saja aku ada di bawahnya.

Bagaimana aku bisa pulang tepat waktu hari ini?
Aku tidak punya pilihan selain berteduh jika tidak ingin demamku melanda lagi.

Aku duduk di halte ini dengan pasrah. Di sini bukan hanya ada aku saja, beberapa rekan satu profesiku juga menunggu hujan reda.

Ponselku bergetar, sebuah pesan masuk di sana.

Hujannya keroyokan. Dia rame-rame, kita sendirian.

Aku tersenyum membaca pesan dari Yuki. Ini memang kemajuan, beberapa kali kami bertukar pesan. Terkadang sapaan, atau seperti ini. Tiba-tiba dia memberitahu apa yang terjadi padanya.


Aku mengetik pesan untuk membalas.

Kalo dia sendirian, aku juga akan lawan.
Kamu udah pulang?

Masih betah nungguin tukang ngaret. Sendirian tanpa kepastian. Sopir pulang duluan.

Seperti ini lagi.
Yuki selalu menunggu tanpa menaruh curiga apapun. Sehebat apa pria itu hingga begitu mudahnya mengelabui Yuki sedemikian rupa.
Ralat. Sebesar apa rasa cinta Yuki untuknya?

Short Story ( Alki Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang