8

4.2K 168 3
                                    

"Gak papa kan?" Nanda melemahkan suaranya. Ia merasakan anggukan pelan beberapa detik setelahnya. Nanda melepas pelukan kemudian menatap wajah Amara yang sedih. Matanya berkaca-kaca.

"Don't cry baby.. Don't cry." Amara menangis mendengar ucapan itu keluar dari mulut Nanda. Ia merasa sangat sedih pagi ini.

Nanda tak bisa ikut dengannya pergi ke Paris kerena jadwal padat yangtak bisa di batalkan. Ia beberapa kali memohon kepada David tapi hasilnya nihil.

Melihat jam yang terus bergerak, Ia sedikit menyemangati Amara. Karena tak ada gunanya memang tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut. Ia tau, Amara pasti akan bahagia jika sudah sampai disana.

Nanda menghapus bulir bening yang membasahi pipinya. "Dengar," mata sembab itu perlahan menatapnya. "Semua orang ingin pergi ke Paris dengan gratis sayang." Ia tersenyum. "Pergilah.."

Amara mengangguk perlahan kemudian memeluknya dengan erat.

*****

"Kasian.." Seseorang duduk di sampingnya.

Amara menutup buku bacaannya lalu menoleh. Keningnya mengerut. "Le-levy?"

Lelaki itu melepas kacamata hitamnya. "Yo." Ia tersenyum tipis.

Nafasnya tertahan dan matanya membulat sempurna. Amara melonjak kaget melihat Levy yang duduk di sebelahnya dengan santai. Secara otomatis tangannya melayang melempar buku yang beukuran lumayan besar dan tebal.

Levy spontan berdiri sambil mengusap kepalanya yang sakit dan mungkin saja benjol. "Ra! Gue bukan rak buku!" Levy berteriak.

"Nga-ngapain lo ha?! Ngapain lo duduk di samping gue ngapain!" Amara ikut berteriak.

Semua pasang mata yang berada di Loby melirik ke arah mereka. Levy berdehem anggun dan kembali duduk. "Kursi gunanya untuk apa?" Tanyanya datar.

"Ya untuk Du.. duk lah."

"Tu tau. Udahlah jangan berisik."

Amara menggaruk pipi kanannya dengan telunjuk. Otaknya masih mencerna apa yang sedang terjadi sekarang. Ia duduk dengan perlahan.

"Lo.." Levy menoleh. "Ngapain?"

"Gue gak ngapa-ngapain. Karna gue lagi gak mau ngapa-ngapain. Lo mau gue apa-apain?" Ucapnya datar.

Amara mendengus."Maksud gue lo mau kemana? Balik?"

"Gak. Gue mau ke Paris."

Mata Amara melebar."Sama."

Pengeras suara berbunyi memberitahuan kepada para penumpang, pesawat akan segera terbang. Levy berdiri dan kembali memakai kacamatanya. "Buruan." Ucapnya saat melihat Amara yang masih sibuk dengan pikirannya.

Amara mengikuti langkah Levy di depannya. Langkah yang sempurna dan teratur. Begitukah cara model berjalan? Amara berpikir lagi.

Lelaki di depannya itu tampak modis. Kacamata hitam bermerek bertengger menutupi mata sayunya. Rambut yang sedikit berantakan karena buku yang ia lempar tadi. Amara merasa sedikit bersalah. Ketampanannya bertambah ketika Amara melihat Mantel putih melekat di tubuhnya. Di tambah syal hitam yang melingkari lehernya. Wajar saja banyak yang menatapnya kagum dan berbisik mengatakan bahwa ia mirip dengan model kelas dunia. Itu memang dia. Batin Amara.

*****

Nanda meregangkan badannya. Memijit lehernya yang terasa keram. Ia menyandarkan kepalanya sambil mengehela nafas. Menyuruh Levy menemani Amara ke Paris memang keputusan terbaik. Nanda mulai menerawang, Ia menelpon Levy di tengah malam saat Amara sudah terlelap sambil tersenyum. Ia tau, istrinya itu tak sabar menunggu datangnya hari ini.

After Wedding?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang