18

5.3K 157 1
                                    

Dentingan jam terdengar keras. Detik demi detik kian berganti menit. Menit demi menit kian berganti jam. Nanda masih setia dengan setumpuk map disampingnya. Kopi yang semula panas, berubah dingin karena tidak tersentuh. Hanya bau khasnya yang menyeruak menusuk hidung. Matanya masih terlihat segar. Namun, jemarinya mengeluh untuk segera berhenti.

Nanda melepaskan pulpen yang sadari tadi bergelut dengan jemarinya. Dan juga mengistirahatkan mata yang terus menatap layar LCD. Ia menyandarkan badannya di kursi. Melemaskan semua saraf-saraf yang pegal.

Jemarinya merah, hampir terluka. Nanda hanya diam melihatnya. Pandangannya berpindah menatap jam. Waktu sudah memasuki tengah malam. Lagi-lagi ia hanya diam.

Nanda sengaja. Bisa di bilang ia sengaja menyiksa dirinya sendiri untuk tidak pulang. Demi kelancaran Big Project-nya, ia rela tidak melihat istrinya itu. Tidak pulang seharian, melarangnya pergi ke kantor, dan hal kecil lainnya. Hatinya terus meronta karena rindu.

Hanya menatap wajah cantik dan senyum manisnya yang tercetak di dalam bingkai kecil di pojok meja, Nanda rasa itu cukup untuk mengobati kerinduannya yang semakin hari semakin menjadi.

"Hei..."

Seseorang masuk memecah keheningan malam. Nanda tidak menoleh. Karena ia tau siapa yang datang.

"Ketuk pintu sebelum masuk." Katanya yang masih terfokus menatap wanita di dalam figura tersebut.

"15 ketukan, apa itu kurang?" Katanya. Sedikit menahan tawa.

Nanda menghela nafas pelan. Dampak saat memikirkan Amara memang mengerikan. "Kenapa kau belum pulang, Lisa?"

Wanita itu berjalan dan duduk di sofa. "Salahkah jika aku mengkhawatirkan Bosku sendiri?" Matanya menatap secangkir kopi. "Kau bahkan tidak menyentuhnya... hei... Aku tidak memasukkan racun di dalamnya."

"Sayangnya aku berpikir begitu."

Lisa memandang lekat Pria di depannya saat ini. Duduk menatap seseorang di dalam figura, sambil terseyum. Lembut dan manis, membuat siapa saja yang melihatnya akan ikut tersenyum.

Kemeja yang terlihat kusut. Lisa melihat dasi Maroon tergeletak di atas meja. Dua kancing atas kemeja putihnya terbuka. Rambut yang berantakan, wajah yang lusuh, terlihat jelas bahwa dia seorang pekerja keras. Tanpa ragu, Lisa menggulum senyum.

Hatinya meminta, dalam luka. Lisa sadar, ia tak akan pernah bisa memiliki atau bahkan sekedar menggenggam jemarinya. Menikmati senyumannya secara diam-diam seperti sekarang, Lisa merasa tidak Hak atas itu. Hobby-nya menyiksa diri dengan mengingat kejadian beberapa minggu lalu. Walau menyakitkan, Lisa mengaku menyukainya.

Setelah sekian menit tak ada percakapan, Nanda akhirnya sadar dengan sebuah pasang mata yang terus menatapnya.

Dengan cepat Lisa memalingkan wajah. Beruntung suasana ruangan tidak terlalu terang. Nanda tidak akan melihat wajahnya yang memerah. Semoga saja.

"Sudah lama kita tidak bicara layaknya teman. Atau mungkin sahabat." Lisa bersuara pelan.

Nanda dengar, namun tak berniat menjawab. Pikiran, otak, dan hatinya saling bekerjasama. Menyuruhnya segera pulang menemui Amara. Perlahan, matanya terpejam.

"Bagaimana kabar Ibumu"

"I-ibuku baik. Mungkin ini gila, tapi..." Lisa berhenti bicara, menarik nafas dalam. "Ia merindukanmu." Akhirnya, Lisa mengucapkannya. "Menyuruhmu untuk datang kerumah."

Nanda masih memejamkan mata. Seulas senyum tipis tercetak di bibirnya. "Bilang padanya, aku juga rindu." Nanda terdiam sejenak. "Untuk berkunjung, aku tak bisa." Kali ini, ia membuka mata dan menatap Lisa. "Aku tak ingin membuat luka, di atas luka."

After Wedding?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang