18. Keegoisan

7.5K 362 10
                                    

Menatap langit malam yang gelap dari balik jendela dengan mata sendu dan hati gelisah. Menunggu seseorang yang sedari tadi belum juga menampakkan batang hidungnya. Ifa gelisah menunggu Fahri yang tak kunjung pulang, ia takut sendirian di rumah. Akhir-akhir ini Ifa sering parno, apalagi ia sedang hamil. Dia pernah dengar orang dahulu bicara, kalau wanita hamil tidak boleh sendirian di malam hari, janinnya nanti bisa di ganggu. Entah di ganggu siapa atau apa yang dimaksud, tetapi Ifa hanya waspada saja, bisa makhluk halus atau manusia. Ia masih betah menatap luar rumahnya yang hanya di terangi lampu teras, lampu jalanan mati karena rusak.

22.00
Ifa berkali-kali melirik jam dinding. Semakin gelisah karena sudah jam sepuluh malam Fahri belum juga pulang.

22.15
Lima belas menit berlalu, belum juga ada tanda-tanda kedatangan Fahri, Ifa sudah tidak tahan lagi. Ia segera menelpon Fahri, diambilnya ponsel yang ada disaku celananya, lantas menyentuh nomor Fahri lalu menelponnya.

"Assalamu'alaikum mas!"

"Wa'alaikumsalam." Ketika mendengar suara Fahri, gelisah Ifa sedikit demi sedikit menghilang.

"Kamu dimana sih! Kok gak pulang-pulang? Udah jam berapa mas?" Ifa menggelengkan kepala, masih menatap keluar jendela dengan tatapan sendunya.

"I-iya sayang, bentar lagi aku pulang."

"Yaudah, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Telpon terputus menyisakan bunyi tut..tut..tut di ponselnya.

Tidak biasanya Fahri pulang telat, tapi tidak menghubungi Ifa terlebih dahulu. Biasanya jika lembur, sore harinya Fahri sudah mengabarinya.

Di sisi lain, Fahri sedang mondar-mandir, ia juga sedang gelisah. Gelisah karena bingung dengan tingkah Lea yang menahannya agar tidak pulang. Sekarang Fahri sedang di rumah Lea, sore tadi ia sempatkan untuk membelikan susu. Lalu ia berikan susu itu ke Lea yang sedang hamil dua bulan lebih. Fahri sadar, kesalahannya di masa lalu berdampak ke masa depannya. Dosa besar di masa lalu, membuat Fahri menjadi dilema seperti sekarang, takut Ifa mengetahui rahasianya.

"Lea! Aku harus pulang." Kata Fahri melirik Lea yang sedang duduk di sofa sambil membaca majalah fashion. Lea memutar bola mata jengah, tidak ingin melirik Fahri.

"Kamu itu selalu aja memprioritaskan Ifa, aku juga lagi mengandung anak kamu Fahri. Ya walaupun aku bukan istri kamu."

"Udahlah Lea! Aku pulang." Fahri langsung berjalan menuju mobilnya yang ia parkirkan di halaman. Lea menyusul Fahri.

"Besok kamu kesini lagi dong!" Kata Lea memohon. Fahri mendengus dan mengangguk ragu.

"Kalau aku gak sibuk." Setelah itu Fahri melajukan mobilnya meninggalkan Lea yang masih berdiri di halaman rumahnya dengan wajah masam.

Lea memiliki sifat egois, ia terbiasa mendapatkan apa yang ia inginkan. Tidak ada yang boleh membantah dirinya. Ibunya terkadang lebih sayang dengan Tyas dari pada dirinya. Karena keras kepalanya itu semua keluarganya membencinya.

Mobil Fahri terparkir di halaman rumahnya, lampu mobil dan suara klakson membuat Ifa yang sudah memenjamkan mata di sofa tersentak dan langsung menemui Fahri diluar sana. Dengan wajah berseri ia membukakan pintu dan langsung memeluk Fahri dengan nafas lega.

"Udah aku tungguin dari tadi loh mas." Ujarnya melepaskan pelukan. "Aku parno sendiri tadi." Kata Ifa dengan senyuman samar.

"Iya, maafin mas ya gak kabari kamu. Besok-besok kalau mas pulang telat suruh aja Chika atau Aqsal nginap disini, biar kamu ada temannya." Fahri melonggarkan dasinya dan membuka kancing teratas kemejanya.

Fahri dan IfanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang