22 • Never Ever

1.2K 198 24
                                    

"Sena!"

Lian memanggil nama cewek yang baru ke luar dari dalam kelasnya itu dengan cukup keras. Sherly ke luar bersamaan dengan beberapa orang lain yang kini ikut menatap ke arah Lian yang berdiri beberapa langkah dari mereka. Sherly melirik kiri-kanan, merasa risih dengan perhatian banyak orang yang tertuju padanya dan Lian. Lian melangkah mendekat dan berhenti tepat di hadapannya.

"Gak telat, kan, sore ini?" Tanya Lian, memasang wajah normal seakan-akan kejadian tadi pagi gak pernah terjadi atau memang dia yang terlalu cuek dan gak peduli?

"Aku gak minta dijemput," Sherly berujar datar.

Lian mengangguk. "Tapi aku mau jemput kamu. Aku udah pinjem motor Adi. Aku mau traktir kamu makan, gimana?" Lian menawarkan, menaik-turunkan alisnya.

Jika kejadian tadi pagi gak pernah ada, sudah pasti Sherly akan luluh dan langsung mengiyakan ajakan Lian. Tapi melihat wajah Lian saja, kalimat yang tadi pagi Lian ucapkan masih terngiang jelas dalam benak Sherly.

Kita cuma orang yang saling menguntungkan satu sama lain.

Cuma orang yang saling menguntungkan satu sama lain, katanya. Apanya yang untung? Sherly gak merasa diberi keuntungan berlebih dari Lian, kecuali ya, memang dia membantu Sherly mengerjakan tugas-tugasnya. Selebihnya, Sherly malah sering ngebatin dan baperan karena Lian.

"Sena, kamu masih marah?"

Pertanyaan Lian itu menarik Sherly kembali ke dunia nyata setelah terlalu larut dalam pikiran. Sherly memejamkan mata sekilas dan menggelengkan kepala. "Enggak. Aku mau langsung balik aja. Permisi."

Sherly baru ingin beranjak pergi, tapi tangan Lian menahan lengannya. Sherly ingin menepis, tapi suara dingin dan penuh komando milik Lian berhasil membuatnya mengurungkan niat untuk pergi.

"Let's talk."

Sherly menurut dan membiarkan Lian menggenggam erat tangannya sambil melangkah menuju ke halaman parkir. Sesampainya di dekat motor Adi, Lian menyodorkan helm kepada Sherly sebelum memakai helm untuknya dan naik ke motor, menyalakan mesin motor. Sherly naik ke motor dan setengah mati berharap jika dia bisa kembali dalam keadaan normal.

Lian menghentikan motor di sebuah kafe di bilangan Pasar Minggu. Lian tetap menggandeng Sherly memasuki kafe itu. Lian dan Sherly duduk berhadapan setelah memesan menu yang mereka inginkan. Gak pesan makanan, cuma minuman. Sherly pesan milkshake vanilla dan Lian pesan iced coffee.

"Kamu mau aku mulai dari mana?"

Lian membuka percakapan dan Sherly mengernyitkan dahi mendengarnya. "Mulai apa?"

"Aku mau buka-bukaan sama kamu tentang segalanya. Kamu tanya apapun dan aku akan jawab dengan jujur. Aku janji."

"Aku gak mau tanya apapun." Sherly menjawab singkat, mengalihkan pandangannya ke luar kaca kafe.

Lian menarik napas dan menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Dia melipat tangan di depan dada. "Kamu kenapa, sih? Aku jadi berasa ngehadepin pacar beneran yang marah. Kita kan cuma pacaran bohongan."

Ingin kuberkata kasar. Sherly sebisa mungkin menahan diri untuk memaki keras Lian. Sherly mulai berpikir, emang ya, hampir semua cowok itu gak peka. Lihat aja Kevin yang dikodein abis-abisan sama Delia, tapi gak peka-peka hingga detik ini. Sekarang, Sherly menyesal sering godain Delia karena keenggak pekaan Kevin. Dia malah kena batunya dan berhadapan dengan orang yang jauh lebih gak peka.

"Efek obat penawar yang Adi buat cuma bertahan tiga hari. Ini udah hampir tiga hari dan kemungkinan, besok aku balik ke wujud Lian baby kesayangan kamu."

Lian BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang