06 • Marsha Laksita

1.6K 226 10
                                    

"Sumpah, ya, Bro. Suara lo imut banget, njir." Suara tawa yang terdengar selanjutnya.

Lian memutar bola mata mendengar ucapan salah satu teman kepercayaannya, Akbar—nama lengkapnya Muhammad Akbar Pratama—yang saat ini melakukan panggilan telepon dengannya. Jam di dinding menunjukkan pukul 12 malam dan 10 menit lalu, Lian sudah mengecek ulang dan memastikan jika Sherly dan Delia sudah tertidur, sangat lelap.

Oleh karena itu, Lian menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk dapat menggunakan barang-barang yang dikirimkan oleh Akbar, barang-barang milik Lian sendiri. Ada laptop, handphone, powerbank, hardisc dan charger. Sejak barang itu sampai, Lian belum bisa menggunakannya secara penuh mengingat Delia akan melihat dan mungkin menangkap keganjilan.

Lian malas menjelaskan lagi tentang apa yang terjadi ke orang lain. Menjelaskan pada Sherly saja butuh waktu yang lama dan menguras otaknya saat harus mengerjakan tugas Ekonomi Makro cewek itu. Lian juga belum yakin apa Sherly sudah benar-benar percaya pasalnya, dari raut wajah, sangat kentara jika dia gak seratus persen percaya pada Lian.

Menjelaskan pada Akbar juga butuh waktu yang cukup lama meskipun, gak selama menjelaskan kepada Sherly. Lian harus mengumbar semua aib Akbar yang dia ketahui lewat email dan barulah Akbar mulai secara perlahan mengerti dan memahami. Sampai cowok itu menelepon Lian dan Lian mengangkat telepon dengan sangat terpaksa. Akbar pasti akan menertawakan Lian.

Apa yang Lian pikirkan benar terjadi karena baru saja Lian berkata 'halo', tawa Akbar sudah pecah hingga sekarang.

"Gak usah ketawa di atas penderitaan orang, apalagi gue sahabat lo."

Tawa Akbar malah tambah pecah dan membuat Lian jengkel. "Gue mau ngomong serius, please. Gak usah ketawa dulu."

"Oke, oke. Gue gak ketawa." Hening sebentar dan Lian memutuskan untuk buka suara.

"Gue yakin, ini ada hubungannya sama White Noise. Mereka pasti berulah lagi dan kerjasama dengan anak Farmasi buat sesuatu yang bikin gue kecil begini."

Diam. Lian menunggu suara Akbar kembali terdengar selama beberapa menit. Tapi yang selanjutnya didengar Lian malah suara tawa Akbar, lagi. Saat itu juga, dengan kesal Lian berkata, "Ah, udahlah! Baca WhatsApp gue aja! Males teleponan sama lo!"

Tanpa basa-basi, Lian mengakhiri panggilan dan dengan susah payah membuka akun WhatsApp di ponselnya yang sudah hampir seminggu gak disentuh. Cowok bertubuh bocah itu menahan napas mendapati beberapa pesan masuk di sana dan yang paling mencolok adalah dari seseorang yang...dia coba untuk hindari. Lian menggeleng dan memutuskan untuk mencari obrolannya dengan Akbar. Dengan jari mungilnya, dia mulai mengetik.

Lo satu-satunya harapan gue, Bar. Tolong selidikin mereka. Apalagi yang mereka buat dan siapa aja yang terlibat. Penting banget buat kelangsungan hidup gue.

Mereka yang Lian maksud adalah sebuah organisasi di angkatan mereka yang bernama White Noise. Organisasi yang berisikan beberapa mahasiswa yang kerapkali menghabiskan hampir dua puluh empat jam untuk menghasilkan sesuatu yang menurut mereka akan sangat berguna bagi masa depan kelak. Tapi seingat Lian, belum ada hasil penemuan mereka yang berhasil. Terakhir kali, mereka membuat kapsul yang mereka sebut sebagai WN Emo Capsule. Mereka bilang, siapapun yang masuk kapsul itu akan lebih dipermudahkan untuk mengatur emosi mereka dengan tombol pengatur emosi yang ada di dalamnya.

Tapi kapsul itu jelas-jelas gagal saat salah satu kelinci percobaan mereka yang merupakan junior masuk ke dalam kapsul dan gak bisa ke luar dari dalam kapsul. Kapsul itu tertutup rapat, tanpa sirkulasi udara. Butuh beberapa jam untuk mengeluarkan si junior mengingat bahan baku kapsul itu adalah besi yang cukup kuat. Saat kapsul terbuka, junior itu sudah ada dalam keadaan pingsan dengan napas gak beraturan.

Lian BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang