36 • Marah

1.1K 200 13
                                    

Adi hanya dapat menarik napas saat mendapati sosok Bayu yang berada di depan kostan-nya, bersama dengan seseorang yang gak asing juga di mata Adi. Adi kenal, tapi lupa namanya. Kakaknya Sherly, seingat Adi.

"Lian gimana?"

Bayu langsung bertanya tanpa basa-basi, membuat Adi bingung setengah mati. Untuk apa Bayu menanyakan keadaan Lian? Apa pedulinya? Rasanya Adi ingin bertanya seperti itu, tapi tatapan menyeramkan Bayu membuatnya ciut. Jika Lian punya tatapan tajam maka, Bayu punya tatapan mengintimidasi dan itu jauh lebih buruk dari tajam.

"Err, cek aja di dalam. Dia gak izinin gue masuk. Katanya gue gak boleh—," belum sempat Adi lanjut bicara, Bayu sudah langsung masuk begitu saja ke dalam kostan Adi.

Bayu menahan napas melihat Lian yang duduk meringkuk di lantai, memegangi kepala dan sepertinya sedang sangat kesakitan. Bayu memejamkan mata sebelum menghampiri Lian yang basah oleh keringat. Lian sempat meliriknya sekilas, tapi gak ada yang ke luar dari bibirnya.

"Gue seratus persen dengan yang satu ini."

Tangan Bayu merogoh saku celana dan mengeluarkan satu kantung plastik bening kecil berisikan satu tablet obat berbentuk bulat berwarna merah. Bayu hendak memberikan obat itu kepada Lian, tapi Lian menepis tangannya sambil menggelengkan kepala sehingga obat itu terjatuh begitu saja.

"Gue...gak butuh."

Bayu menarik napas dan menghelanya perlahan mendengar suara pelan sang adik tersebut. "Lo butuh. Sekarang minum. Sebelum semuanya terlambat. Lo gak mau gue kasih tau gimana ending tikus percobaan obat itu, kan?"

Napas Lian masih gak beraturan saat cowok itu mendongak, menatap Bayu dengan risau. Lian menggelengkan kepala saat Bayu kembali menyodorkan tablet merah itu di dekat mulut Lian dan itu membuat Bayu semakin geram.

"Gue kasih tau ending tikus itu sekarang! Dia mengecil dan gak bisa kembali ke ukuran normalnya! Semua organ juga gak berfungsi normal sampe dia mati beberapa hari setelah efek obat habis! Lo mau kayak dia?!"

Lian gak bergeming dan Bayu semakin geram dibuat olehnya.

"Lo itu katanya pinter. Tapi masalah kayak gini harus ngelibatin gue dan karena lo udah ngelibatin gue, sekarang lo minum obat ini dan jangan pergi kemanapun selama tiga hari. Gue bakal terus ngawasin lo."

Lagi-lagi Lian gak bergeming. Perlahan, dia kembali memejamkan mata menahan sakit. Bayu menarik napas dan secara paksa membuka mulut Lian lalu, memasukkan tablet yang sedari tadi di bawanya. Lian protes, tapi Bayu segera mengambil segelas minuman yang ada di atas meja dan menutup kasar mulut Lian sambil berkata, "Gak usah banyak bacot. Minum aja!"

Tangan Bayu gak lepas dari mulut Lian, membekap sehingga adiknya itu gak bisa ngeluarin obat yang sudah susah payah Bayu buat. Bayu menunggu sampai akhirnya, gak ada perlawanan dari Lian.

*****

"Sherly, Sherly, Sherly. Mau sampe kapan, sih, lo mondar-mandir kayak gitu? Pusing gue ngeliatnya!"

Delia memprotes kesal Sherly yang sudah hampir tiga puluh menit mondar-mandir di dalam kamar dengan wajah gelisah dan dia gak ngomong apapun masalahnya. Delia yang baru selesai mandi serta berpenampilan sampai kesal sendiri melihatnya.

Padahal dari kemarin dia berusaha untuk berbagi kebahagiaan ke orang lain. Tapi setiap Delia mau berbagi kebahagiaan sama Sherly, sepertinya kebahagiaan itu gak mau nemplok lama-lama di Sherly. Takut juga kali sama judesnya Sherly.

"Lian, argh!"

Delia terlonjak mendengar teriakan frustasi Sherly. Sherly menghentikan mondar-mandirnya dan berdiri menatap Delia dengan muka semrawutan. Delia mengangkat satu alis dan baru mau bertanya, tapi Sherly sudah menjawab pertanyaan yang belum terucap itu.

"Lian jadi ke sini gak, sih?! Udah seharian gue nungguin, tapi dia gak dateng juga! Hapenya gak aktif! Ya Tuhan, gue beneran gila kalo kebanyakan mikirin itu cowok!"

Delia diam, mencerna ucapan Sherly sebelum mengangkat satu alis. "Tunggu. Lian mana yang lo omongin? Lian sepupu lo atau Lian gebetan-gak-peka-tapi-tetap-kucinta lo?"

Sherly menghela napas. "Lian, pokoknya!"

Satu alis Delia terangkat mendengar Sherly berteriak kepadanya dengan kesal. Ini yang pengen marah-marah, kan, gue karena gue keganggu liat dia mondar-mandir. Tapi kenapa dia yang bentak gue?

*****

"Gimana? Udah dapet kabar?"

Marsha Laksita menggelengkan kepala mendengar pertanyaan yang ke luar dari mulut sang kakak, Marcel. Marsha tengah berada di lokasi pemotretan dan tiba-tiba Marcel datang menghampirinya, menanyakan sesuatu yang gak pernah ingin Marsha dengar.

Marcel menyandarkan punggung pada sandaran kursi sebelum memberi isyarat menggunakan tangan kepada penata rias yang baru saja ingin masuk ke ruangan, mengganti make up Marsha. Penata rias itu paham maksud Marcel dan segera bergegas menjauh, memberikan ruang kepada kakak-beradik untuk berbicara.

"Jangan diem aja! Gue gak bantu lo jadi model cuma buat liat lo kerja pamer bentuk badan sama muka, terus ngabaiin lo!" bentak Marcel cukup keras, membuat Marsha menunduk ketakutan.

Hening sesaat. Marcel masih menatap Marsha kesal dan Marsha masih menundukkan kepala takut.

"I do really hate their family." Marcel berujar dengan napas terengah-engah, membuat Marsha lagi-lagi hanya dapat terdiam.

Marcel memejamkan mata. "Telepon dia sekarang."

Tangan Marsha dengan gemetaran meraih ponselnya, menghubungi seseorang dengan sangat cepat. Marsha menyetel loudspeaker sehingga Marcel dapat mendengar percakapan yang dia lakukan.

"Halo?"

Sesaat setelah suara itu terdengar, Marcel tersenyum miring. Dengan ragu-ragu, Marsha berkata, "Li...an?"

Balasan belum juga terdengar selama beberapa saat sebelum sebuah suara terdengar merespon. "Oh, Marsha, ya?"

Marsha mencelos, begitupun dengan Marcel yang jelas sangat mengetahui suara siapa itu. Suara seseorang yang belum lama ini dia hubungi.

Bayu Wahyu Nugraha.

"Sori, Sha. Nomor lo gak disimpen sama Lian di hape-nya. Kayaknya gak penting juga, ngapain disimpen."

Marsha memejamkan mata mendengar kekehan Bayu. "Lian mana?"

"Ada gue, kenapa nyariin Lian? Lo frustasi banget, ya, gak dapetin gue dan gak dapetin Lian juga? Duh, makanya, cantik-cantik otak dipake buat mikir. By the way, Marcel, makasih banyak karena lo udah mempermudah segalanya. Obat yang lo kasih ke Lian, gak diminum sama dia dan malah dia kasih ke gue buat gue teliti. Dosisnya lebih tinggi. Kenapa gak sekalian aja lo jejelin baygon ke adek gue?"

Marcel menggeram sebelum meraih paksa ponsel Marsha dan berbicara keras kepada Bayu. "Ah, lo udah telat. Obat pertama yang gue kasih ke Lian justru yang paling ampuh. Jangan lupa, Akbar yang adalah sahabat adik lo sendiri ada di pihak gue."

"Akbar, ya? That litleshit. Emang pinter, sih. Tapi walaupun gue males ngakuin ini, Lian jauh lebih pinter dan ngakal daripada Akbar. Akbar juga...hm, takut kecewa berat sama semua anak buah lo, terlebih lagi Akbar. So, what are you gonna do now, Marcel?"

Gigi-gigi Marcel bergemertak. "Maksud lo apa?!"

"Akbar is our Snape. Pernah nonton Harry Potter, kan? Nah, si Akbar itu perannya kayak Snape. Lo mah si Duddley yang tolol, bego dan gak—,"

Belum sempat mendengar ucapan Bayu yang selesai, Marcel membanting ponsel Marsha sambil menggeram kesal. Marsha mundur ketakutan. Marcel yang sedang marah bukan seseorang yang sangat ingin Marsha temui dan Marsha gak bisa berbuat banyak saat Marcel marah.

Lian BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang