7. Syair Hujan Rintik

1.6K 44 0
                                    

ANEKA bunga indah yang memenuhi keranjang bunga, bergelinding jatuh dari atas batu karang, bebungaan itu segera tersebar kemana-mana bagaikan hujan rintik.

Tentu saja hujan bunga, bukan hujan rintik. Tempat itu tiada hujan, yang ada cuma rembulan. Rembulan yang purnama.

Di bawah sinar bulan purnama, mendengarkan sebait syair yang begitu indah, mengapa mereka bisa memperlihatkan reaksi yang begitu aneh?

Tangan cing cing menggenggam gagang golok lengkungnya erat-erat.

Sedang si kakek mengawasi tangannya itu tanpa berkedip.

Ia sudah tidak perlu banyak bertanya lagi, seandainya di atas golok itu tiada ke tujuh huruf tersebut, tak mungkin dia akan memperlihatkan reaksi seperti itu.

Mimik wajah kakek itu paling aneh, saat itu entah dia sedang merasa tercengang? Atau girang? Atau takut?

Tiba-tiba ia mendongakkan kepalanya dan tertawa seram.

"Haaahh......haaahh......haaahh...... ternyata benar-benar adalah golok itu, Thian sungguh punya mata, akhirnya aku berhasil menemukan golok itu."

Di tengah gelak tertawa yang keras, pedangnya telah diloloskan dari sarungnya.

Sekalipun tubuhnya tiga jengkal tingginya sedang pedang itu empat jengkal panjangnya tapi setelah pedang itu berada di tangannya, semuanya itu berubah menjadi tidak menggelikan lagi.

Setelah pedang itu diloloskan dari sarung nya, tak akan seorang manusiapun yang akan memperhatikan bahwa dia adalah seorang manusia kerdil.

Sebab begitu pedang tersebut diloloskan dari sarungnya, terasalah ada selapis hawa nyaring yang menyengat badan memancar keluar dari sekeliling tubuhnya.

Bahkan Ting Peng yang berada di bawah tebing batupun ikut merasakan hawa pedang itu, hawa pedang yang dingin dan tajam memaksa sepasang matanya yang tak mampu di pentangkan kembali.

Menanti ia membuka kembali matanya hawa pedang telah menyelimuti seluruh langit dan menari-nari, sekujur badan Cing cing telah terkurung di bawah cahaya pedang tersebut.

Hawa pedang menembusi angkasa, sedang pedang itu menyambar kesana kemari dengan tajamnya.

Suara si kakek kedengaran masih amat jelas sekali ditengah desingan angin pedang yang tajam itu, kedengaran sepatah demi, sepatah kata dia berseru:
"Mengapa kau tidak meloloskan golokmu?"

Cing cing masih belum juga mencabut goloknya. Golok lengkung milik Cing cing masih tersoren dalam sarungnya yang melengkung.

Tiba-tiba kakek itu membentak keras:
"Mampus kau!"

oooooOooooo

Bentakan keras bagaikan geledek, cahaya pedang berkilauan bagaikan halilintar, sekalipun halilintar juga tak akan seterang itu, tak akan secepat itu.

Ketika pedang berkelebat lewat Cing-cing terjatuh dari atas batu karang bagaikan se ikat bunga segar yang tiba-tiba layu dan terkulai ke bawah.

Batu karang itu hampir sepuluh kaki tingginya ketika tiba di atas tanah tubuhnya segera terkapar.

Kakek itu sama sekali tidak melepaskannya.

Kakek itupun melayang turun dari atas batu karang yang sepuluh kaki tingginya itu seenteng selembar daun, pelan-pelan melayang turun.

Dalam genggaman kakek itu masih ada pedang, Pedangnya telah diloloskan dari sarungnya.

Ujung pedang si kakek yang tajam sedang diarahkan ke jantung Cing-cing.

Golok Bulan Sabit (Yuan Yue Wan Dao) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang