Saat ini, aku sedang bersandar pada pagar yang terpasang di pinggiran balkon. Pagar dari besi ini tingginya setinggi dadaku sehingga aku bisa melongok ke bawah, tepat ke halaman rumah. Karena menurutku memandangi halaman rumah sendiri, kecuali kau sedang melamun, hanyalah membuang waktu, pandanganku justru terpaku pada sebuah keluarga yang tengah menghabiskan siang yang cerah ini dengan menggelar selimut besar di halaman berumput di depan rumah mereka yang berserongan dengan rumah orang tuaku.
Keluarga itu terdiri dari sepasang suami-istri dan dua orang anak kecil yang umurnya tak begitu jauh bedanya. Mereka terlihat bahagia dimataku, dilihat dari bagaimana satu-satunya wanita di sana menampakkan senyum lebarnya ataupun dari pertengkaran kecil yang dua anak laki-laki itu sebabkan karena memperebutkan makanan yang berakhir dengan satu kata yang indah maknanya: berbagi.
Perutku terasa bergejolak melihat pemandangan indah tersebut. Seakan seluruh anatomi tubuhku menolak, bahkan hanya sekedar mencicipi perasaan yang rasanya begitu lama tak pernah kurasakan kembali.
Kemudian, kualihkan pandanganku ke arah taman kompleks perumahan yang letaknya di ujung pertigaan jalan. Hanya butuh dua atau tiga menit berjalan kaki untuk mencapai taman tersebut. Dengan jarak pandangku yang berada di lantai dua, tentu aku masih bisa melihat taman tersebut melalui sepasang lensa kacamataku.
Taman itu tidak terlalu ramai. Mungkin karena hari pertama ajaran baru akan segera dimulai sehingga para tetangga sibuk pergi ke pusat perbelanjaan untuk menyiapkan anak mereka. Namun, sekelompok remaja tanggung sedang duduk di bangku panjang di bawah pohon. Tak jauh dari mereka, seorang pedagang es krim sedang berjualan.
Kuperhatikan sekelompok remaja tanggung yang sekiranya sepantaran denganku. Mereka semua perempuan dan sedang menikmati es krim mereka. Ketika salah satu dari mereka secara tak sengaja membiarkan es krim miliknya mendarat di baju teman di sampingnya, terjadilah sesuatu yang seru. Si korban berusaha membalas temannya. Akhirnya, pakaian mereka terdapat banyak bercak es krim. Dua orang lain yang berada dalam kelompok itu berusaha untuk melerai mereka, yang malah ketumpahan es krim pula. Jadilah, mereka saling kejar-mengejar dengan es krim yang tersisa di tangan mereka.
Kusadari diriku sedari tadi tersenyum melihat tingkah kelompok tersebut. Bukan tersenyum sebagai peralihan dari tertawa, melainkan tersenyum atas indahnya pemandangan yang baru saja kusaksikan. Senyum yang juga memiliki arti ganda: miris.
Miris karena sejujurnya, aku tidak pernah benar-benar merasakan kehidupan di luar lingkup keluarga. Mungkin karena dulu, keluargaku begitu penuh kasih sayang hingga aku tidak memerlukan yang lain lagi. Berinteraksi secara normal dengan teman sebaya mungkin pernah, namun aku tidak benar-benar mengingatnya karena kegiatan itu berhenti kulaukan sejak sebuah kejadian yang mengubah segalanya.
Sejak aku kecil, sahabat dan orang yang selalu setia berada di sampingku hanyalah Kak Evan, saudara kembar fraternalku. Ia tidak pernah menyerah padaku. Hanya dialah satu-satunya orang yang berarti dalam hidupku sekarang ini.
Oh, jangan beritahu padanya jika aku mengatakan ini. Dia akan besar kepala!
Kedua orang tua kami bisa dibilang lebih buruk daripada sebuah perceraian. Menurutku, perceraian adalah sebuah keputusan akhir yang mana mengantarkan dua belah pihak pada kehidupan baru masing-masing.
Tapi, tidak dengan orang tuaku. Mereka lebih memilih untuk tidak mengambil keputusan, meski hubungan mereka seakan sudah retak. Aku tidak mengerti alasannya, begitu juga dengan Kak Evan. Bukan berarti aku menginginkan mereka berdua bercerai. Hanya saja, aku tidak ingin terus-terusan melihat tatapan kosong Mama dan kebiasaan buruk Papa yang sungguh membuatku muak. Bahkan, fakta bahwa mereka berdua sudah berpisah ranjang bukanlah keputusan yang mereka buat, tetapi aku, Kak Evan, dan Bi Minah, pembantu rumah tangga kami.
Baiklah, aku sudah memberitahu kalian sekelumit kisahku yang tidak menyenangkan. Tentu hanya kuberitahu ini pada kalian saja. Apa aku memiliki teman untuk berbagi cerita seperti ini? Tentu saja tidak! Mungkin, hanya dalam mimpi. Namun, aku sangat berharap di tahun ini, aku bisa menikmati secuil kebahagiaan dunia. Apalagi, dalam waktu dekat, tahun ajaran baru akan dimulai.
Oh, aku menyebutkan tahun ajaran baru. Ya, memang. Tahun ini, aku akan berumur lima belas tahun dan akan memasuki masa-masa, yang kudengar dari kabar angin, paling indah. Namun, aku tidak suka berharap yang muluk-muluk karena harapan tidak cukup untuk membuatmu berpindah ke lain tempat.
Jadi, inilah awal dari kisahku yang akan kubagikan kepada kalian, para pembaca.
Aku baru ingat, apakah kalian sudah mengetahui namaku? Belum? Baiklah. Perkenalkan diriku sendiri, Anastasya Evelin Anderson.
Selesai ditulis : 25 Maret 2014
Selesai direvisi : 26 April 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Evelin
Teen FictionIni tentang hidupku. Tentang hidupku yang berubah sejak aku menjajaki masa sma. Beban menjadi saudara kembar dari cowok populer di sana yang dirahasiakan. Memiliki sahabat baru yang tak pernah kubayangkan dan sahabatnya yang juga te rnyata sahabat E...