Setelah pulang dari Bandung minggu lalu, rasanya masih teringat sampai sekarang dalam memori otakku. Rasanya seperti baru kemarin, padahal Bella mengatakan aku berlebihan karena kami sudah menginap di villa milik Ayah Alvin minggu lalu. Tapi tetap saja rasanya menyenangkan.
Langit malam hari ini tidak ditaburi bintang-bintang. Sekarang jam dua belas malam dan aku belum tidur. Tidak mengantuk juga sebenarnya. Dan bagusnya, besok adalah hari minggu, jadi aku bebas dari bangun pagi. Sebenarnya, tumben sekali aku belum tidur saat ini, biasanya aku sudah terlelap pukul sepuluh malam.
PRANGG
Spontan aku menoleh kesumber suara. Namun, tidak ada hal aneh terjadi dalam kamarku. Aku rasa suara berasal dari bawah. Tiba-tiba, perasaan tak enak menghantui pikiranku. Dengan terburu-buru aku segera membuka pintu kamarku dan menuruni tangga menuju lantai bawah.
Sebuah guci antik milik Mama terpecah belah diatas lantai dekat lemari pajangan yang berada didekat ruang keluarga. Setahuku, itu merupakan koleksi Mama yang paling berharga.
“PA!”
“KENAPA? KAMU MARAH SAYA NGEHANCURIN SESUATU YANG BERHARGA BUAT KAMU?”
“....”
“KAMU NGGAK TAU GIMANA RASANYA KALAU KAMU KEHILANGAN SESUATU YANG BERHARGA BUAT KAMU, ‘KAN?”
“TAPI, PA—“
“TAPI APA, NIS? KAMU NGGAK TAU GIMANA SAYA PAS SAYA TAU TENTANG HAL ITU, HAH?”
“DEMI TUHAN, PA! MAMA NGGAK MAKSUD—“
“NGGAK MAKSUD UNTUK APA, NIS?”
“AKU BERUSAHA UNTUK JELASIN, PA!”
“TAPI A—“
“Jelasin apa, Ma?” aku memperhatikan mereka berdua. Papa tengah berdiri disamping lemari pajangan. Mama berada tak jauh dari Papa. Raut wajah Papa menyiratkan amarah, kekecewaan, lelah, semuanya ada disana. Mama yang tadi menatap Papa dengan ekspresi meminta maaf, kini menoleh kearahku. Papa pun menoleh kearahku.
“E-evy?” Mama terdengar tergagap. Matanya membelalak seolah tak percaya aku ada disini. Papa sama terkejutnya. Dan kurasa, dia sedang tidak mabuk malam ini. Tumben.
Aku memandang keduanya dingin. Sudah muak dengan pertengkaran mereka yang tidak jelas alasannya. Selama ini aku dan Kak Evan hanya berpura-pura tidak dengar jika mereka berdua mulai ribut. Ribut dalam artian Papa yang berusaha maracau, sedangkan Mama yang hanya diam dengan berlinang air mata. Dan aku memang melihat Mama dan Papa ribut hanya sekitar enam kali selama empat tahun belakangan.
Tapi malam ini lain. Selain karena baru pertama kali berteriak sekencang itu, baru pertama kali pula Mama berusaha membalas perkataan Papa. Aku sungguh tidak mengerti!
“Naik ke kamar, Evy!” perintah Papa tegas.
“Jelasin apa, Pa?” ulangku, kini pada Papa. Aku menatapnya. Tak peduli perintah Papa yang membuatku muak.
“Naik ke kamarmu, Ev—“
“JAWAB, PA!” teriakku kencang. Kedua telapak tanganku mengepal dikedua sisi. Aku marah, kesal, lelah, semuanya bercampur menjadi satu dalam diriku.
Papa dan Mama tersentak mendengarku teriak dihadapan mereka. Papa melotot. “Kamu mulai berani sama Papa, ya, Evy? Naik ke kamar—“
“JAWAB EVY, PA!” aku hanya butuh jawaban. Bukan perintah tak berdasar yang kudengar barusan.
Papa menggebrak meja didekatnya. “EVY!” bentak Papa. “JANGAN KAMU NGELAWAN! PERGI KE KAMAR ATAU—““ATAU APA, PA?” kini aku menangis. Tangisan yang diakibatkan oleh amarah, kecewa, lelah, muak, bosan, semuanya bercampur dan menghasilkan tangisan yang membuatku membenci diirku sendiri karena menangis. Kudengar, suara isak tangis Mama yang sedang menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Isakkan tangisannya terdengar pilu membuat telingaku panas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evelin
Teen FictionIni tentang hidupku. Tentang hidupku yang berubah sejak aku menjajaki masa sma. Beban menjadi saudara kembar dari cowok populer di sana yang dirahasiakan. Memiliki sahabat baru yang tak pernah kubayangkan dan sahabatnya yang juga te rnyata sahabat E...