“Selama ini, bukan Mama kalian yang terluka,” Papa melirik Mama dengan ekspresi membunuh, “tapi Papa....”
Kata-kata itu terngiang-ngiang dikepalaku. Selama sepersekian detik, otakku tak bisa mencerna apa maksud perkataan Papa barusan. Aku mendongak untuk menatap Kak Evan, ekspresinya tidak bisa ditebak. Aku bertanya-tanya apa maksud semua ini.
Aku akhirnya menoleh kearah Mama. Raut wajah Mama berubah menjadi tegang, entah karena apa. Air mata sudah berhenti mengalir dari matanya. Ditatapnya aku dan Kak Evan secara bergantian.
“Evy....” suara Mama terdengar lirih. Aku menatapnya dengan pandangan meminta penjelasan. Sesekali kulihat dirinya ingin berusaha mengatakan sesuatu, namun Mama hanya menutupnya kembali.
“Dia nggak akan berani jelasin, Evy,” suara Papa memecah keheningan. “Dan Papa nggak mau jelasin apa-apa sama kalian, sekarang masuk kamar!” perintah Papa sambil menunjuk tangga.
“Pa,” panggil Mama pelan. Papa melirik kearah Mama. “Kita tahu pasti mereka akhirnya akan tahu, Pa.”
“Tapi bukan sekarang—“
“Terus kapan, Pa? Papa mau nyimpen ini semua dari anak-anak kita?” kini Mama berteriak. Kedua tangannya mencengkram kedua sisi kursi rodanya.
Papa terdiam sebentar dengan pandangan terpaku pada Mama. Entah apa yang dipikirkan olehnya, semoga Papa bersedia menjelaskan sesuatu yang sunggu membuatku muak ini. Menit berikutnya, Papa menghela napas lalu menoleh kearah kami berdua. Pandangan matanya menatap kami lurus-lurus.
“Lima tahun lalu, satu minggu setelah kepulangan kita dari Inggris, sebelum Mama kecelakaan, Papa ketemu Mama di mall,” Papa mulai bercerita. Pandangan matanya menerawang.
“Papa habis dari meeting disana, dan Papa ngeliat Mama kamu lagi ada di butik baju, dan kamu tau butik baju apa?” Papa mengangkat alisnya, ”baju pengantin.” Dan detik itu juga, raut wajah Papa mengeras.
“Papa penasaran, ngapain Mama ada di butik baju pengantin. Jadi, Papa ngikutin Mama secara diam-diam. Dan waktu Papa ngikutin Mama sampai kasir, Papa ngeliat seorang laki-laki,” kelihat kedua telapak tangan Papa pun mengepal keras. “Laki-laki itu dengan santai meluk Mama kalian, dan mecium keningnya. Setelah mereka berdua keluar dari butik itu, Papa terus ngikutin mereka sampai mereka ada di parkiran, lalu Papa segera keluar dari persembunyian.
“John-Johnson?Apa yang kamu lakukan disini” ujar Hanisa dengan tergagap. Tangannya yang tadinya sedang bertautan dengan tangan laki-laki disampingnya segera ia lepas.
Johnson hanya tersenyum kecut. “Harusnya aku yang tanya kekamu, Nis. Kamu ngapain disini? Sama laki-laki itu? Sama Albert?” tanya Johnson langsung. Hanisa tersentak, bingung mau menjawab apa.
“I-ini ... bukan seperti yang kamu maksud, John!” bela Hanisa pada dirinya sendiri. Namun, sepertinya Johnson tidak mempercayai wanita didepannya itu, lagi. Laki-laki yang tadi sedang memungguinya membalikkan badan, ditatapnya dengan terkejut Johnson.
“Johnson? Apa yang kamu lakukan disini?” tanya laki-laki itu.
Johnson memandang laki-laki itu dingin. “Baru saja selesai bertemu dengan klien-ku, Albert. Dan, apa yang kau lakukan dengan istriku? Berduaan saja?” sindir Johnson. Albert menyeringai.
“Oh, ayolah, John. Aku hanya kebetulan bertemu dengannya tadi,”
“Di butik pengantin? Dengan pelukan dan ciuman? Apa kau yakin?” tukas Johnson. Hanisa terlihat terkejut. Ditatapnya suaminya dengan hati-hati.
“John, ini bukan seperti yang kamu—“
“Jelas-jelas aku lhiat kamu dan Albert berdua disana! Memesan gaun pengantin,” katanya dengan nada penekanan. “Untuk apa kalian berdua kesana?” selidik Johnson.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evelin
Teen FictionIni tentang hidupku. Tentang hidupku yang berubah sejak aku menjajaki masa sma. Beban menjadi saudara kembar dari cowok populer di sana yang dirahasiakan. Memiliki sahabat baru yang tak pernah kubayangkan dan sahabatnya yang juga te rnyata sahabat E...