Aku duduk dengan kedua kaki ditekuk di depan dada. Pandangan mataku memandangi rerumputan yang tumbuh liar di hadapanku. Angin semilir membelai wajahku. Suasana di sini sejuk, karena aku berada di bawah sebuah pohon rimbun yang berada di perbukitan ini. Dua tahun sejak aku kesini tidak ada yang berubah. Pepohonannya masih sama. Danaunya pun begitu; masih tertutup oleh beberapa pohon. Teringat begitu saja kala saat itu Alvin pernah memainkan sebuah lagu untukku di sini.
Alvin.
Waktu sudah berjalan dua tahun sejak kecelakaan yang merenggut nyawanya. Kecelakaan mobil yang membuatnya kehabisan darah dan hanya bisa bertahan beberapa waktu setelah ia sampai di rumah sakit. Peristiwa naas itu hanya terjadi dalam satu malam saja. Terjadi satu jam setelah dia menyatakan perasaannya padaku. Terjadi setelah malam itu kami berdua resmi menjalin suatu hubungan. Dan buruknya, aku tidak sempat mengatakan bahwa aku juga mencintainya.
Setitik air jatuh ke pipi. Kejadian itu terlalu cepat untuk aku cerna semuanya. Semuanya terjadi begitu saja. Membuatku ketakutan. Kami sudah berjanji. Kami sudah berjanji akan mendaftar pada universitas yang sama. Kami sudah berjanji persahabatan. Dan bahkan dia sudah berjanji akan selalu ada di sisiku. Dia sudah berjanji akan menjagaku. Dia sudah berjanji.
Aku marah. Aku kecewa. Aku ... aku ... sedih. Ketika kau baru saja diterbangkan ke langit ketujuh dan tiba-tiba kau langsung jatuh; terjun dari atas jurang terdalam yang pernah kau ketahui. Ketika kau baru saja menjadi pacar dari seseorang yang kau sayangi dan tiba-tiba seseorang itu meninggalkanmu. Meninggalkanmu untuk selamanya.
Kau tidak akan pernah bisa melihatnya lagi. Tidak bisa melihat senyumannya lagi. Tidak bisa melihat tawanya lagi. Tidak bisa mendengar suaranya lagi. Tidak bisa mendengar nyanyiannya lagi. Tidak bisa. Kau sudah tidak bisa lagi melihat, mendengar,atau apapun yang bersumber asli dari dirinya. Tidak bisa.
Mataku sudah tak bisa lagi memendung air mata yang akan segera keluar. Hatiku terlalu sakit kala mengingat semua kenangan yang pernah ia buat dalam hidupku. Semuanya. Berapa keras aku berusaha menahan air mata yang akan tumpah ketika aku mengingatnya, pada akhirnya aku tidak akan bisa.
Alvin yang merupakan teman sebangku pertamaku. Partner kerja kelompok pertamaku. Orang pertama yang menyelamatkanku dari keramaian. Orang yang pertama kali mengetahui rahasiaku. Orang yang pertama kali menjadi sahabatku. Orang yang pertama kali kupercaya. Orang yang mengajariku bagaimana persahabatan itu. Orang yang membuatku menjadi berani mengalahkan rasa takutku. Orang pertama yang pernah menyanyikan lagu untukku. Cowok yang pertama kali kupeluk selain Kak Evan. Orang yang pertama kali membuat detak jantungku memburu kala aku hanya melihatnya saja. Cowok pertama yang menyatakan cintanya padaku. Cowok yang pertama kali menjadi pacarku. Cinta pertamaku.
Terlalu banyak kenangan yang pernah ia buat. Melupakannya hanya membuatku terus mengingatnya. Sebuah penyesalan yang masih terngiang-ngiang dalam kepalaku adalah belum sempat mengatakan aku mencintainya juga ketika nyawanya masih berada dalam raganya.
"Hei,"
Aku masih diam, tidak mengubrisnya. Akhir-akhir ini hubungan kami kurang baik. Bukannya kurang baik, tapi ... ah sudahlah. Aku malas bicara dengannya.
"Ev?" suaranya kini terdengar bahwa dirinya duduk di sampingku. Aku masih diam, memandangi hamparan rumput hijau di hadapan.
"Masih mikirin Alvin?"
Itu lo tau! Kenapa tanya ....
"Udahlah, Ev. Kalo elo masih mikirin Alvin sambil nangis, Alvin malah nggak bisa tenang di sana."
"Gue tau," tukasku pelan. Masih tidak mengalihkan pandangan. Kedua tangaku dilipat di depan dada. Kusenderkan tubuhku pada batang pohon di belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evelin
Teen FictionIni tentang hidupku. Tentang hidupku yang berubah sejak aku menjajaki masa sma. Beban menjadi saudara kembar dari cowok populer di sana yang dirahasiakan. Memiliki sahabat baru yang tak pernah kubayangkan dan sahabatnya yang juga te rnyata sahabat E...