Chapter 30

8.6K 534 5
                                    

Hari Jumat.

Hari ini adalah hari terakhir ujian terkutuk yang sudah berjalan sejak hari Senin lalu. Untungnya, aku bisa mengerjakan soal dengan "lumayan" baik meski ada beberapa soal yang kupaksakan untuk menjawabnya. Semoga saja nilainya sesuai harapan. 

Kulirik arloji hitamku, jam tujuh lewat. Bel akan berbunyi dua puluh tiga menit lagi dari sekarang. Masih ada waktu untuk belajar. Kelas tak terlalu ramai, hanya ada tiga orang saja duduk di sudut.

Di hadapanku, buku teks biologi terbuka lebar. Sejak aku memasuki kelas, aku langsung mengambil buku teks biologiku dari tas dan mulai membaca ulang materi pelajaran yang sudah kubaca tadi malam, jadi pagi ini aku hanya mengulang saja. Buruknya adalah, aku tak henti-hentinya tak melirik bangku tempat dimana Alvin semestinya duduk.

Oh, ayolah. Alvin sudah tidak terlihat sosoknya sejak kami bertemu Kamis minggu lalu dan sampai hari ini tidak kelihatan batang hidungnya. Sudah puluhan atau bahkan ratusan kali aku mengiriminya pesan dan sejenisnya padanya, namun tak satupun dari semuanya dibalas bahkan dibaca saja tidak. Aku benar-benar khawatir.

Merindukannya pun begitu. Satu hari tanpanya rasanya duniaku kembali seperti dulu; datar, redup, pokoknya tidak seru. Aku ingin mendengar suaranya saat ini juga, melihat ekspresi wajahnya yang kadang membuatku tersenyum lucu, belajar bersamanya, dan kalau bisa aku ingin memel—

Eh, apa yang aku pikirkan.

“Hei,” aku menoleh ke sumber suara dan langsung saja pipi kananku mengenai jari telunjuk seseorang.

Mataku bertemu pandang dengan sepasang mata beririskan coklat gelap yang memandangku bingung.

Aku terdiam menatapnya. Bingung.

Kami terdiam sekitar dua menit ketika dirinya mengerutkan keningnya. “Ev, lo belom mati, ‘kan?” suaranya menggema dalam pikiranku. Dengan setengah sadar otaku tidak bisa mengingat siapa pemilik suara ini. Dengan diriku yang tidak memberikan respon—dan malah menatapnya dengan tatapan bingung bagai ornag bodoh—dia kemudian meletakan kedua tangannya pada kedua bahuku.

“Bilang kalo lo belom mati, Ev,” suara kembali terngiang dalam pikiranku. Aku bingung. Setengah tidak sadar juga. Tanpa sadar mulutku mengeluarkan suara. “Gue nggak mimpi, kan?”

Alvin menelengkan kepala. Sepertinya merasa aneh dengan ucapanku barusan.

Alvin merasa aneh dengan ucapanku barusan.

Alvin merasa aneh.

Alvin.

“HUA!!!” langsung saja aku memeluknya tanpa peringatan. Aku memeluknya, iya aku memeluknya. Sebodo amatlah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, yang pasti aku merasa senang sekali bisa melihat dirinya sedang berada di hadapanku sekarang ini.

“Gue kangen sama lo, Vin!” seruku masih memeluknya. Aku masih tidak percaya kalau Alvin sekarang ada dalam pelukanku.

Awalnya Alvin hanya terdiam, namun detik berikutnya dia memeluk balik. Dalam jarak sedekat ini, aku bisa mencium aroma tubuhnya yang seperti berbau mint segar. Kurasakan hembusan napasnya mengenai salah satu telingaku. “Gue juga kangen, Ev.” Ucapnya pelan.

“CIE EVELIN MELUK ALVIN!”

“ANJIR MEREKA PAMER KEMESRAAN DI KELAS, COY!”

“CIE EVELIN-ALVIN!”

“CIE ... CIE ....”

“CIE....”

Argh! Seruan beberapa murid kelas yang entah sejak kapan ada di dalam sini membuatku sadar. Maksudnya sadar kalau aku memeluk Alvin di depan murid-murid kelas. Tuhan, aku salah.

EvelinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang