Chapter 3

19.3K 1K 8
                                    

Hari pertama sekolah.

Ini masih pagi. Sekitar jam tujuh kurasa. Aku sudah duduk manis di dalam kelas X-3 ini yang terletak  di lantai dua. Aku duduk bangku bernomor 25 yang terletak diujung kanan. Kenapa aku tahu ini bangku nomor 25? Karena diatas mejanya sudah tertempel sebuah stiker bertuliskan nama panjangku dan nomor meja ini, lagipula murid disini berjumlah 26 orang jadi sudah pasti aku berada di bangku paling belakang.

Belum banyak orang yang berada di sini, mungkin sekitar lima orang berserta aku didalamnya. Suasana sekolah juga masih lumayan sepi.

Bosan, aku pun mangambil iPodku yang ada di dalam tas, lalu memasangkan earphone berwarna putih yang selalu kubawa kemana-mana itu pada kedua telingaku. Alunan musik Simple Plan mengalun indah dalam telingaku dan kutambahkan volume suaranya hingga mendekati maximum. Tak lupa, aku mengambil novel yang kubawa dari rumah dan menit berikutnya aku sudah tenggelam dalam duniaku sendiri.

Setelah lumayan lama aku membaca, kurasa, aku mendengar samar-samar suara seseorang. Namun suara itu sangat rendah, kecil dan tidak jelas jadi aku menghiraukannya, mungkin hanya halusinasi, Aku terlalu terpaku dengan novel yang kubaca dan musik yang kudengarkan.

Namun suara itu terdengar lagi, berulang-ulang hingga tiga kali kalau kuhitung. Tapi tetap saja aku tidak menghiraukannya, kurasa itu alam bawah sadarku yang berbicara atau apapun lah.

Lalu beberapa menit kemudian, kurasa, aku mendengar samar-samar suara seperti dentingan lonceng gereja yang biasanya berbunyi saat acara pernikahan. Uh, kurasa itu hanya seorang murid yang memukulkan pensil pada kaca jendela. Dan seketika, suasana kelas menjadi hening entah kenapa.

Aku melirik jam tangan tanpa bergerak sedikit pun. Jam tangan dengan kaca luaran berwarna hitam, jarum-jarumnya yang berwarna hitam, dan angka-angka yang tertera hitam pula lumayan menyusahkanku dalam melihat waktu, namun aku tetap suka jam ini. Jarum-jarum itu menunjukkan pukul tujuh lima belas. Bel masuk tentu saja belum berbunyi. Aku pun kembali menekuni novel yang kubaca.

SRAAKK

DUKK

"Ahh,"

Ada seseorang yang dengan seenaknya menarik earphone yang terpasang pada kedua telingaku ini. Dia menariknya dari bawah sehingga kedua cabang earphone itu terlepas dan karena aku memasangnya terlalu kencang, jadi kepalaku sedikit terbawa oleh tarikan kabel earphone dan terantuk meja. Tidak terlalu sakit memang, tapi tetap saja aku merasa sakit. Aku segera menutup novelku.

Aku melayangkan pandang pada bangku sampingku. Dan disana, telah ada seseorang yang  tengah duduk dan memandangku dengan tatapan aneh. Aku memandangnya dingin sambil mengusap keningku yang terantuk meja.

"Kenapa liat-liat?" Aku bertanya dengan suara sedingin es, setenang air di kolam renang, sepelan suara desiran angin.

Orang yang tengah duduk di bangku sampingku mengangkat satu alisnya, lalu melayangkan pandangan pada sekeliling kelas. Aku mengikuti arah pandangannya dan menyadari sesuatu.

Murid-murid yang lain sudah duduk rapih dibangku mereka masing-masing. Dan saat aku memandang kedepan meja guru, disana sudah ada seorang guru laki-laki yang tengah berdiri sambil memegang buku absen.

Mati aku!

Apakah sudah diabsen? Bagaimana denganku? Ah, mati saja kalau ternyata namaku terlewatkan, padahal orangnya ada disini. Aku terlalu asik dengan duniaku sendiri.

Aku panik, memasang raut wajah bingung lalu melayangkan pandangan pada orang disampingku yang saat itu tengah menatapku. Aku mengangkat alis, meminta penjelasan. Dia hanya menggeleng pelan, hampir tak terlihat. Kuartikan itu sebagai tidak. Maksudnya, tidak untuk mengabsen, bukannya tidak untuk menjelaskan.

EvelinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang