Alvin : Hari ini ada acara?
Evelin A : Nggak.
Alvin : Mau nemenin gue?
Evelin A : Ke?
Alvin : Nanti lo juga tau.
Evelin A : Yeh.
Alvin : Jadi?
Evelin A : Iya.
Alvin : I’ll pick you up at two, girl
Pesan Alvin lewat Line beberapa menit lalu itu membuatku entah kenapa uring-uringan sekarang. Aku tengah duduk di hadapan lemari pakaianku yang isinya sudah berantakan di mana-mana. Sumpah, aku bingung ingin pakai apa nanti! Padahal biasanya kalau ingin pergi-pergi aku tinggal ambil baju paling atas yang ada dalam lemariku atau ambil sembarangan, pokoknya tinggal ambil tanpa pilih! Tapi kenapa sekarang aku malah menjadi mengacak-acak lemariku untukmemilih benda yang bernama “pakaian”? Aneh ‘kan?
Dan buruknya lagi, untuk menuju jam dua tinggal menunggu satu jam lagi.
KREKK
“Evy?” aku menoleh dan mendapati Kak Evan tengah melongokan kepalanya ke dalam kamar. Wajahnya memancarkan keterkejutan yang secara jelas dapat kulihat. “Loh, kamar lo kayak abis kena topan, Ev,” Kak Evan kemudian memasuki kamarku. Matanya mamandangi pemandangan kamarku yang pastinya kacau.
Aku cemberut. “Iya, tadi ada topan gara-gara lo pengen masuk kesini,” jawabku asal. Kak Evan malah mengerutkan keningnya, ia kemudian duduk di sebelahku.
“Lagi ada apaan? Beres-beres baju?” tanyanya. Aku menggeleng. Alisnya terangkat satu. “Terus?”
Kuhela napasku. Masa aku harus memberitahu pada Kak Evan, sih? Bisa-bisa harga diriku jatuh!
“Kenapa, woy?” tanyanya lagi.
Dengan cepat aku menjawab. “GuebingungmaumilihbajubuatpergisamaAlvinnanti,” ucapku dengan satu tarikan napas. Jangan buat aku mengulang perkataanku barusan, Kak.
“Lo ngomong apaan, sih? Yang jelas gitu,” ujarnya sambil menyikutku. Aku menyikutnya balik. “Dih, nggak usah pake sikut-sikutan juga kali,” aku memandang lurus kearah lemari.
“Gue ... gatau harus pake baju apa buat pergi sama Alvin nanti,”
Selama tiga detik raut wajah Kak Evan memancarkan kebingungan, namun detik berikutnya dirinya seperti mengerti, namun kurasakan ada aura ingin menjahiliku dalam dirinya.
“Apa? Gue masih nggak denger lo ngomong apa barusan,” ujarnya sambil menaruh satu tangan di belakang telinganya. Salah satu ujung bibirnya tertarik membentuk senyuman setengah. Aku menoyor kepalanya kencang. “AH, tau ah! Sana pergi!” usirku sambil mendorong tubuhnya kuat-kuat, yang sayangnya gagal.
Kak Evan membalikan badannya kearanku dan menepis kedua tanganku yang mendorongnya. “Iya-iya, gue denger, kok. Bercanda elah, Ev,” kedua tangannya pun dilipat di atas pangkuannya. “Terus?”
Aku menaikan satu alisku. “Terus? Ya, gapake terus-terusan! Tapi masa gue merasa aneh tau nggak? Biasanya gue ‘kan langsung main ambil asal aja gitu. Aneh ‘kan? Tiba-tiba gue jadi milih-milih begini,” jelasku.
Kak Evan dengan cepat mengacak-acak rambutku yang tengah tergerai ini. “Nggak aneh kali, Ev. Itu wajar kalo elo mau tampil bagus didepan Alvin,”
Aku berjengit. Dengan cepat kegelengkan kepala. “Dih, pengen bagus apanya? Dikira gue sales mobil luar yang pake model-model seksi biar mobilnya laku, apa?” aku menggeleng-geleng. “Gue nggak pengen bagus didepan Alvin! Cuma ... ya ... gimana jelasinnya, ya?” kugaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. “Yah pokoknya begitulah. Gue bingung jelasinnya gimana!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Evelin
Teen FictionIni tentang hidupku. Tentang hidupku yang berubah sejak aku menjajaki masa sma. Beban menjadi saudara kembar dari cowok populer di sana yang dirahasiakan. Memiliki sahabat baru yang tak pernah kubayangkan dan sahabatnya yang juga te rnyata sahabat E...