Chapter 31

9.1K 577 18
                                    

BYURR

“Ouch!” cipratan air asin mengenai wajahku. Untungnya aku memakai kacamataku, kalau tidak bisa-bisa mataku terkena air asin tersebut. Kuseka wajahku yang terkena air.

Pandanganku memperhatikan Adrian yang dilempar tak jauh dari pantai oleh Kak Evan dan Alvin yang bersekongkol. Seringaian puas terlukis pada wajah mereka berdua, mereka ber-high-five ria sambil menertawakan Adrian yang tangannya sedang menyalak-nyalak keluar permukaan air.

Aku hanya menggeleng-geleng melihat tingkah mereka. Seperti anak kecil, namun rasanya mereka bertiga seperti lukisan yang indah di pantai dengan matahari yang mulai berwarna oranye.

WUSSH

Anak ombak mengenai tubuhku, membasahi dari ujung jari kaki sampai ke paha. Celana pendek yang kukenakan basah sudah, kaus putih tipis yang kukenakan pun sedikit basah di bagian bawahnya.

Kutolehkan kepala pada Bella yang tadinya sedang membuat istana pasir, namun kini tersapu ombak. Dirinya merengut kesal. Aku hanya terkekeh kecil.

Hari ini, kami sedang berlibur di pantai. Berlibur. Sebenarnya tidak juga. Kami sudah kelas dua belas yang seharusnya penuh dengan try out, penambahan materi, dan segala hal lainnya. Tapi, entah mengapa Ayah Adrian—yang notabene kepala sekolah di sekolahku—mengizinkan seluruh murid kelas dua belas untuk menikmati hari santai selama satu hari, Jum’at, seminggu setelah ujian tengah semester dilaksanakan kemarin.

Hari santai itu seperti kalian masuk sekolah, paginya hanya mengerjakan beberapa soal, lalu kemudian bebas dari jam pelajaran keempat sampai terakhir; bisa langsung pulang, atau tetap di sekolah. Jadilah kami berempat berencana—kami merencanakan ini sejak hari Senin lalu karena mendapat bocoran informasi dari Adrian sejak hari Senin—untuk pergi ke pantai setelah jam pelajaran keempat berbunyi. Yang bagusnya, Ayah Adrian menyetujui untuk meminjamkan villanya yang kebetulan ada di daerah pantai yang tidak didiami oleh para wisatawan.

Dan, disinilah kami. Kami sampai pukul tiga sore dengan mobil Adrian dan Alvin; mobil Adrian sebagai mobil penumpang sedangkan mobil Alvin dipakai untuk memuat barang-barang yang tak terlalu banyak, yang dikendarai oleh supirnya.

Kuhirup udara pantai yang terasa kering, namun menyenangkan. Aku bisa mendengar suara deruan ombak dari laut sana. Suara desiran angin laut yang kering. Merasakan pasir-pasir basah yang menjebak kedua tanganku di dalamnya. Cipratan air asin ketika anak ombak menggelung kearahku atau sengatan sinar mentari yang mirip seperti telur mata sapi menghangatkan tubuh.

“Ev!” seruan Kak Evan membuatku menoleh kearahnya. Tangannya membuat gerakan untuk datang menghampirinya. Aku menoleh kearah Bella dan bertanya, “Mau kesana, Bel?”

Bella yang sepertinya masih cemberut akibat istana pasirnya yang telah tersapu ombak menoleh kearahku dengan lesu. “Kemana?” tanyanya pelan. Aku pun menunjuk tempat dimana Kak Evan, Alvin, dan Adrian berada. Bella mengikuti arah jariku kemudian mengangguk cepat.

“Ayo! Gue bete disini,” ujarnya sembari bangkit berdiri. Kaus berwarna peach miliknya masih kering. Celana pendek khas pantai yang ia gunakan pun masih terlihat kering meski di beberapa bagian terkena air. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan sebuah kacamata hitam di atas kepalanya. Aku mengangguk.

Kami beriringan berjalan menembus air. Anak rambut yang tersisa di sekitar wajahku terkena hembusan angin, membuatku sesekali harus menyelipkannya ke belakang telinga. Untungnya rambutku diikat kuda, kalau tidak jadinya akan seperti rambut Bella yang berkibar-kibar laksana pemimpin panglima perang yang diberi efek dramatis.

Sampai di tempat Kak Evan, aku melihat Adrian sudah berdiri tegak. Wajahnya terlihat kesal. Bagaimana tidak? Dia, kan, baru saja dibangunkan dari tidur selama perjalanan—yang menyetir ngomong-ngomong Alvin—dengan cara yang tidak keren; dilempar ke tengah pantai. Itu ide Kak Evan. Jahil memang.

EvelinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang