Oh tidak! Ini sebuah bencana!
"Papa!"
Aku berteriak. Sayangnya, Papa sama sekali tidak mendengarkan, dia malah tetap menyakiti Mama yang hanya duduk dikursi roda. Kulihat Mama yang sedang berusaha untuk tetap diam, menatap Papa dengan pandangan kosong yang berlinang air mata. Sesekali dia menjerit. Papa sama sekali tidak mengindahkan jaritan Mama yang terdengar sangat pilu.
"Kak! Lakuin sesuatu dong!" kataku panik pada Kak Evan yang masih berdiri disampingku. Dia melihatku panik. "Lakuin apa?" dia bersuara seperti tengah dikejar anjing. Aku berusaha memutar otak. Aku mulai meremas-remas tanganku sendiri.
"Gatau! Pokoknya—"
"Mama!" teriakku saat melihat Mama telah jatuh terkapar diatas lantai dengan posisi telentang. Papa hanya tertawa tidak jelas saat melihat Mamaku seperti itu dengan tangannya yang memegang kursi roda. Kupastikan Papa sedang mabuk berat.
Aku berlari kearah Mama. "Mama? Mama nggak apa-apa?" tanyaku sambil memegang tubuhnya. Mama masih sama. Menatapku dengan pandangan kosong dengan uraian air mata. Wajahnya terlihat tua dengan segala kepiluan yang ada.
Uh, stupid question. Udah tahu Mama kenapa-napa!
"Ayo, Mama kita ke kamar!" Aku berusaha mengangkat Mamaku. Aku memegang kedua lengannya dan berusaha merubah posisinya menjadi duduk dengan kedua kaki lurus kedepan. Setelah akhirnya duduk, aku bisa melihat goresan-goresan luka terbentuk di sekitar kedua lengannya yang kurus dan ada sedikit darah yang keluar dari dahinya.
Sebenarnya, apa sih yang dipikirkan Papa?
Aku mengalihkan pandangan dari Mama ke Papa yang masih tertawa dan meracau tidak jelas sambil memegang kursi roda.
Aku kemudian membuka mulut, "PAPA SEBENERNYA KENAPA SIH? KENAPA PAPA SELALU NYIKSA MAMA KAYAK GINI? APA PAPA NGGAK KASIAN SAMA MAMA? INGAT PA, DIA MASIH ISTRIMU! KENAPA PAPA SELALU KAYAK GINI??" Aku berteriak. Nafasku tersenggal-senggal. Rasa marah, kesal, kecewa bercampur aduk dalam dadaku. Bahuku naik-turun tak karuan. Rasanya seperti ingin meledak detik ini juga
Kulihat ekspresi Papa berubah menjadi aneh. Dia berjalan sedikit sempoyongan menedekatiku. Papa membuka mulutnya. "Kamu berani ngomong gitu ke Papa, Evy?"
PLAKK
Detik itu juga rasanya aku ingin mati saja.
Papa menamparku tepat di pipi. Rasa sakit langsung menjalar keseluruh syaraf di tubuhku. Cukup untuk melumpuh kan syaraf yang ada. Aku memegang bagian yang terkena tamparan Papa dengan tangan kiriku. Rasanya panas, pedih. Seakan seluruh harapan yang kau kerahkan selama ini pupus sudah.
Aku menatap Papa dengan tatapan tak percaya. Aku tidak terlalu bisa melihat ekspresinya karena kacamataku telah terlepas entah kemana.
"Evy!"
Kak Evan tiba-tiba sudah berada disampingku. Kulihat–walaupun samar–raut wajah khawatirnya muncul. Rasa panik menyerangnya. Dia menatapku nanar.
"Evy, lo gapapa?"
Stupid question,Kak.
Aku hanya diam. Memejamkan mataku. Masih memegangi pipiku yang sepertinya mati rasa. Saat membuka mata, kulihat Kak Evan berdiri dan berusaha mengantar Papa ke kamarnya dengan paksa. Sesekali Papa mencoba untuk melawan, tapi tidak bisa. Kasar memang, tapi setidaknya itu bisa mencegah Papa di saat seperti ini sebelum dia melakukan hal yang lebih mengerikan.
"Evy,"
Spontan aku menengok kearah Mama. Tapi ternyata tidak ada tanda-tanda Mama yang mengucapkan namaku. Saat kulihat Papa, dia menatapku aneh. Seperti ... merasa bersalah? Ah, tidak mungkin! Pasti karena aku tidak memakai kacamata sehingga pengelihatanku jelek sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evelin
Teen FictionIni tentang hidupku. Tentang hidupku yang berubah sejak aku menjajaki masa sma. Beban menjadi saudara kembar dari cowok populer di sana yang dirahasiakan. Memiliki sahabat baru yang tak pernah kubayangkan dan sahabatnya yang juga te rnyata sahabat E...