BAB 10: GENCATAN SENJATA

61.1K 8.9K 1.4K
                                    

G E N C A T A N

S E N J A T A

"Silakan duduk." Leon mempersilakan kami berdua.

Aku duduk di satu dari tiga kursi kosong. Ganesha duduk di sebelahku. Satu komponen yang paling menyebalkan dari kelas spionase adalah kursinya. Dengan sengaja, sekolah membiarkan kursi kayu kuno keras menjadi fasilitas duduk kami satu-satunya. Memang, meja yang tersambung dengan kursi membuatnya menjadi lebih ekonomis, tapi ruang gerak kami menjadi terbatas. Akibatnya, sangat sulit tidur di kelas spionase. Bahkan duduk bersandar di lantai selalu terdengar lebih empuk setelah dua jam duduk di kursi itu dan mengalami kebas pantat.

"Terima kasih kamu sudah datang, Sari. Saya minta maaf atas kecelakaan tadi siang." Aku membalas dengan satu anggukan. Guruku seperti biasa tidak menanyakan apakah aku sudah baikan atau belum. Tipikal guru Nusantara, selama masih bisa ngesot, maka masih dianggap tidak apa-apa.

"Oke. Apa bedanya agen intelijen dengan yang lain?"

"Agen intelijen harus memiliki keahlian dari berbagai profesi. Pekerjaannya tidak spesifik, harus selalu siap belajar keterampilan baru," jawab Ganesha

"Contohnya profesi apa?"

"Polisi, detektif, tentara, pasukan khusus. Setiap komponen militer."

"Apakah agen intelijen hanya ada di BIN?"

Tidak mau kalah, aku pun mengacungkan tangan. "Tidak. Polisi dan militer juga punya agen intelijen sendiri.

"Lumayan untuk kalian berdua. Baik. Malam ini, saya akan mengadakan kelas studi kasus. Cari petunjuk, pecahkan masalah, identifikasi tersangka. Sekarang saya akan coba di lingkungan pelajar dan akademisi. Apakah ada pertanyaan?"

Menarik. Kami jarang sekali membahas studi kasus terkait pelajar dan akademisi. Biasanya lebih banyak mengenai tindak kejahana dan terorisme. "Apakah ini ada hubungannya dengan misi kami?"

"Kalian akan diberitahukan mengenai misi kalian saat sudah waktunya. Apakah ada pertanyaan lain?"

"Tidak," jawabku dan Ganesha serempak.

Guruku meletakkan sebendel kertas di meja kami. "Ini sepuluh soal cerita. Waktunya satu jam. Kalau belom selesai, saya akan berikan pekerjaan rumah."

Tak perlu disuruh dua kali, aku lantas mulai membaca susunan kata bertinta hitam. Meski aku lebih menonjol di kelas fisik, sejak awal kelas studi kasus adalah kelas teori favoritku. Soal yang dibuat guru kami jauh menandingi buku Sherlock Holmes yang kubaca semasa sekolah dasar. Bukan hanya menguras pikiran, soal studi kasus juga menguras mental. Jika kasusnya tentang pembunuhan berantai, maka siswa kelasku bersiap tidak makan. Untuk berjaga-jaga, aku pun tadi hanya makan salad dan cireng lima biji. Foto-foto yang dicantumkan tidak pernah disensor dan seringkali mengocok perut. Begitu juga dengan kasus kejahatan lain seperti doktrinisasi ke arah radikalisasi, kekerasan seksual berujung kematian, hingga kematian karena konflik romansa seperti perselingkuhan dan kecemburuan.

Saat pertama kali mendapatkan kelas ini, otakku memproses informasi seperti ini:

Pria berusia 27 tahun menghilang selama tiga bulan, diduga terlibat organisasi radikal. Dahulu, kedua orang tuanya pisah karena alasan religius, meniggalkan pria itu sendirian saat berusia 11 tahun. Sebelum hilang, ia sering makan ayam geprek di empran Grand Indonesia. Setiap hari Jumat, jam setengah dua belas siang. Jika pria ini pernah memelihara tiga kecebong di rumahnya, ayam geprek cabai berapa yang biasa ia pesan?

Tidak jelas? Memang. Itu dulu yang kurasakan saat pertama kali membaca. Namun setelah beberapa sesi, aku akhirnya paham polanya. Meski guruku masih rajin memberikan kalimat pengecoh, memecahkan kasus lewat teori menjadi jauh lebih mudah daripada simulasi fisik. Harusnya sih, begitu. Tetapi di soal keenam, aku menemukan soal yang aneh. Mengenai pengedar narkoba dan identitas bandar. Informasi dikumpulkan dari geng cowok-cowok senior di sebuah sekolah negeri unggulan. Aku diminta mempersempit kemungkinan tersangka sampai tiga-empat orang. Normalnya, ketentuan itu mudah dipenuhi. Akan tetapi di soal ini informasi yang diberikan cenderung sama dan tidak signifikan. Aku jadi bertanya-tanya, apakah kelakuan anak SMA ibukota sama semua? Bolos, nongkrong, ajep-ajep, tawuran, pacaran, itu aja kerjaannya?

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang