BAB 20: EFEK SAMPING

48.1K 7.9K 473
                                    

E F E K

S A M P I N G

"Loh Nu, kenapa?"

"Enggak tau, nih. Pusing gue." Cowok itu berbaring di atas sofa, menyabotase tempat duduk empat orang sekaligus. Matanya terpejam, tangannya memijat-mijat kepala.

Nicholas meletakkan gelas yang entah sudah ke berapa pagi ini. "Kok tumben? Biasanya lo paling tahan joget sampe pagi."

Aku tarik kata-kataku mengenai ninja tadi. Ternyata hari ini aku panen raya. Hampir semua anak meninggalkan ponsel dan dompetnya di meja dengan alasan takut hilang dan tertinggal. Setelah itu, tak sulit bagiku membuka casing warna-warni mereka, membuat mayoritas ponsel tampak identik. Kalau tidak berlogo apel, ya bertuliskan Samson. Ponsel Nina menjadi target pertamaku. Kemudian Lia dan Tio. Sekali izin ke kamar mandi, aku dapat satu. Kemudian izin membeli minum, dapat dua. Sekarang aku menunggu ponsel Ken. Sejam yang lalu aku menaburkan pil tidur di minuman cowok itu. Harapanku, kalau Nicholas yang melakukan transaksi, aku punya alasan untuk ikut.

"Nggak tau, ya. Diracunin kali minum gue."

"Terus minumnya sekarang di mana?" tanya Nicholas.

Ken membuka mulutnya, memasukkan telunjuk kanan ke dalam. "Di sini neh! Gue mau tidur aja deh. Dadah!" ucapnya, terdengar senang.

Nicholas melepaskan rangkulannya dari bahuku. Ia menendang tubuh Ken, membangunkan paksa cowok itu. "Lo bukannya mau belanja?"

Ken menggerutu, berguling, dan kembali memejamkan mata. Kali ini Nicholas mengguncangkan tubuhnya sambil mengancam akan menyiram wajah Ken dengan alkohol dingin. "Lo aja yang beli. Ada di HP gue. Gue janjian pagi-pagi."

Nicholas berdecak. "Sekarang udah pagi."

"Kukuruyuuuk!"

"Nu, serius gue!"

"Sepertiga malam, Sayang. Kayak doa gue buat lo," kata Ken sebelum kembali tidur. Nicholas sepertinya sudah lelah meladeni temannya, ia pun mendekat hanya untuk merogoh ponsel dari kantong Ken.

"What's up?" tanyaku, berakting tidak paham kesekian kalinya pagi ini.

"He's dead. Now I have to buy the weed," gerutu Nicholas.

"Can I go too?"

"What for?"

"Just curious." Kedua bahuku terangkat. Nicholas memandangku beberapa saat, menilai. Pada akhirnya, cowok itu mengiyakan, mengacak-acak rambutku dengan tangannya yang bebas. "Be discreet, Eva," katanya.

Aku mengangguk lantas menyandarkan tubuhku ke pundaknya yang kokoh. Neuron-neuron di otakku mulai aktif menyusun strategi. Pagi ini, aku akan meretas ponsel Ken dan mendokumentasikan transaksi mereka.

::: o :::

"Kamu belom dapet apa-apa?" Jarum panjang di dinding bergerak lambat, satu-satunya suara yang menemani suara ketikan Ganesha. Siang ini, cowok itu mengenakan kaos putih polos dan celana pendek, tak ada lagi bekas-bekas penyamaran sebagai bartender cantik berkumis. Rutinitas kami selama dua minggu sama. Saat akhir minggu, aku akan mampir ke kontrakan Ganesha dan saat hari biasa, cowok itu yang datang ke apartemenku. Kami tak selalu mengobrol, pernah ada satu hari di mana cowok itu hanya datang untuk bermain laptop, tanpa mencoba berbasa-basi denganku. Kami berdua tidak pernah mengucapkannya terang-terangan, tapi aku tahu dia menghargai kehadiranku seperti aku menghargai kehadirannya bak dukungan mental. Pengingat akan Sekolah Khusus Nusantara.

"Selain kontak pengedar yang di Fabel tadi, belom ada yang baru," jawab Ganesha. Aku beranjak duduk di lengan sofa, mencari posisi yang lebih jelas untuk melihat layar laptop Ganesha.

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang