BAB 3: OPERASI TINGKAT MENENGAH

123K 13.5K 1.2K
                                    

O P E R A S I

T I N G K A T

M E N E N G A H

Kalau ada satu hari yang paling kusuka di Nusantara, itu adalah hari terakhir sekolah. Alasannya bukan karena itu hari terakhir aku bertugas memberikan pakan hewan. Kegembiraanku tak terbendung karena hari itu merupakan hari di mana aku merasa menjadi agen intelijen sungguhan. Walau sejujurnya aku belum pernah merasakan sensasi merangkak di dalam pipa ventilasi ataupun pergi ke acara formal dengan gaun yang belahan dadanya menembus pusar seperti di film mata-mata, sih. Tetapi kalau sekadar naik van hitam anti peluru, aku pernah. Bahkan, mobil yang kini menampung segenap anggota kelasku itu sedang melaju dengan agak santai entah ke mana. Perjalanan yang sudah makan waktu satu setengah jam ini sukses membuat pantatku kesemutan. Serius, bisa kesemutan.

Aku yakin teman-temanku merasakan hal yang sama. Namun, mereka memang dasarnya agen intelijen sejati — aku juga, amin — jadi tetap saja kalem. Bahasa kerennya sih, stay cool aja. Aku juga masih stay cool waktu van hitam yang kunaiki berputar tajam dan berhenti sepenuhnya. Saking stay cool-nya, kalau ada kontes siapa yang paling bisa memasang muka datar ketika hampir nyusruk ke depan, aku pasti menang. Obrolan teman-temanku pun seketika terhenti. Bahkan Tanya yang tidak berhenti berbicara dari Bandung tadi ikut diam. Mungkin mereka sadar operasi sebentar lagi dimulai. Atau mungkin mereka terlalu sibuk menahan diri agar tidak menyusruk sepertiku.

Aku menoleh ke depan. Kursi kemudi yang dibatasi penghalang permanen masih tidak terlihat dari tempat kami duduk. Sumber bunyi rupanya berasal dari layar berukuran 21 inci yang perlahan turun dari langit-langit van. Layar hitam itu kemudian berhenti dan menyala secara otomatis.

"Absen!" bentak layar tersebut.

Ralat, bukan layar. Suara barusan berasal dari Leon, guru spionase baru yang gantengnya tidak karuan. Sekilas, Leon terlihat berada di dalam mobil seperti kami tapi dengan latar lebih terang. Catatan, aku bukan sedang mencoba kurang ajar. Guru yang mengaku berusia 25 tahun itu sejak awal memang meminta dipanggil dengan nama depan saja.

Aku mengikuti temanku yang paling dekat dengan layar, berhitung berurutan. Ketika hitungan kami selesai, angka sudah mencapai dua puluh. Leon mengangguk-angguk, sibuk dengan pikirannya sendiri. Di layar, guru muda itu mengenakan kemeja biru langit dengan dasi putih yang memeluk tubuh berototnya. Rambutnya ditata sehingga berdiri di bagian depan. Hidung mancung dan tulang pipi tinggi tampak kontras dengan bibir merah muda miliknya—yang bahkan lebih menyala dari milikku. Untungnya, rambut-rambut tipis di dagu Leon membuat guru itu seratus kali lebih maskulin. Jadi aku tidak curiga kalau dia sebenernya rajin memakai pelembab bibir rasa stroberi seperti salah seorang pejabat di Jakarta.

Aku yakin Leon separuh bule karena setiap melihatnya aku selalu teringat dengan Chris Evans. Sayang, identitas Leon tidak bisa dilacak di mesin pencarian daring. Konon katanya, identitas guruku dirahasiakan mati-matian; pria itu dikabarkan sedang menyamar di salah satu markas ISIS Indonesia sebelum akhirnya diminta ke sini untuk menggantikan guru spionase kami yang harus bertugas di luar negeri.

"Oke. Peraturan apa yang ada selama operasi?" tanya guruku. Dalam hati aku berdoa supaya dia tidak menyadari tatapanku yang sedikit lebih perhatian dari siswa teladan yang memerhatikan gurunya.

Dua puluh siswa di dalam van berebut menjawab, tak terkecuali aku. Pada akhirnya jawaban kami saling tumpang tindih dan terdengar seperti, "Perhatikan bayangan sekeliling, improvisasi, dan kalau perlu mencuri," dari kalimat sebenarnya, "Perhatikan sekeliling, tetap dalam bayangan, jangan menucri perhatian dan improvisasi kalau perlu."

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang