BAB 29: KAYA TUJUH TURUNAN

37.3K 5.8K 367
                                    

K A Y A

T U J U H

T U R U N A N

"Ken tersangka."

Aku tengah bersiap-siap menghadiri undangan ulang tahun ayah Nicholas ke-60. Seperti biasa, begitu sampai apartemen aku mendapati Ganesha duduk bersantai di sofa, tanpa izin dan tanpa basa-basi. Dalam tiga bulan kami bekerja bersama, cowok itu sudah dua puluh tujuh kali menginvasi tanpa izin, tiga di antaranya menonton televisi, empat membaca koran, sisanya sibuk dengan laptop keramat kepunyaannya.

Hari ini, aktivitas Ganesha tak masuk pengkategorian di atas. Tidak nonton televisi, tidak membaca koran, tidak pula mengotak-atik laptop. Sebaliknya, cowok itu bertindak amat ceroboh, duduk sambil membiarkan jejak kehadiranya, berupa ratusan kertas dengan logo kemenetrian pendidikan dan logo sekolah negeri yang kami infiltrasi, terlihat jelas. Biasanya ia selalu menutupi jejaknya dengan baik, semua barang berada pada tempatnya, meski aku hampir selalu bisa mencium bau rumput diterpa hujan yang menyertai cowok itu. Bahkan, kertas penanda yang aku sengaja pasang di lantai di balik pintu ─ apabila posisinya bergeser, maka dipastikan ada penyusup ─ selalu dikembalikan ke posisi asalnya: di tengah jalan, tiga senti dari pintu, dan miring ke arah barat daya.

Ketika aku selesai memoles diri, mengepang rambutku dengan gaya elegan, dan mengenakan gaun batik berwarna ungu, cowok itu masih sibuk sendiri. Matanya memicing, alisnya bertaut, keningnya membentuk kerutan yang lebih banyak dari janji politisi. Sesekali dia menghela napas kesal, menggodaku untuk mendekat dan menyumpal mulutnya yang tak berhenti menggerutu.

"Oi? Bumi ke Ganesha? Lapor, Ken dinyatakan tersangka. Ganti."

Tidak menjawab.

"Ganesha, kamu kok nggak punya empat lengan?"

Karena cowok itu belum juga menanggapi, aku terpaksa berjongkok dan menggoncangkan bahunya keras. Cowok itu mengela napas, lagi. Aku jadi gemas, ingin rasanya mengusir Ganesha dari kediamanku.

"Iya, Ken pasti jadi tersangka. Tapi dia nggak akan dipenjara," jawabnya lempeng. Itu pun baru menanggapi setelah kutiup telinganya. Jangan tanya kenapa, aku hanya berusaha mengalihkan perhatiannya dengan berbagai cara; mendorong, menggelitik, meniup. Ternyata yang mempan meniup.

Aku merebahkan tubuh di sofa, persis di samping Ganesha yang masih lesehan di atas karpet. Rupanya anak ini begitu sibuk, hingga tak lagi peduli dengan urusan Ken. Mungkin sudah saatnya aku menunjukan peran sebagai rekan kerja yang baik.

"Gimana perkembanganmu misimu?" tanyaku berbasa-basi.

"Udah dapet beberapa nama di kementerian. Masih cari bukti konkrit. Malem ini aku mau ke sekolah lagi, kamu bakal ikut, kan?" Ia bertanya balik, sama sekali tak mengangkat wajah dari tumpukan kertas di tangan.

"Coba liat mukaku, Nes."

"Hah?"

"Liat mukaku."

Keengganannya tampak nyata, namun cowok itu mengalah. Ia mendongak. Barulah ketika melihat wajah dan dandanku, ia menyadari sesuatu.

"Kamu ada acara, ya?"

"Ya. Ulang tahun papinya Nicholas."

"Bareng gengnya?"

"Berdua aja."

"Oh." Ganesha mengangguk perlahan. "Pasti banyak info di sana. Maaf aku enggak bisa ban-"

"Kamu punya misi sendiri, Nes," potongku.

"Iya. Maaf ya, Sar."

Aku memandanginya heran. Sejak kapan cowok nyebelin yang berkali-kali mempermalukan aku di Nusantara jadi begini? Jangan-jangan dia kesurupan hantu minta maaf? Terlanjur mati tanpa bisa meminta maaf ke orang-orang terdekatnya, akhirnya di dunia hantu kerjaannya hanya minta maaf.

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang