BAB 37: AGEN CICAK INTELIJEN

32.4K 6.1K 579
                                    

A G E N

C I C A K

I N T E L I J E N

Dari sekian pelajaran berharga yang bisa kuambil dari misi ini, ada satu poin yang menamparku dengan hebatnya. Jangan pernah meremehkan lawan. Aku memperlakukan Nicholas dan kawan-kawan selayaknya orang asing yang melihat gerombolan remaja kaya raya dan salah pergaulan. Meyakini bahwa mereka liar dan tanpa arah, namun tidak mungkin terlibat dalam tindakan kriminal berat. Kukira, penempatan di hutan rimba penuh hormon dan gejolak emosi dari remaja labil hanya akan memaksaku berhadapan dengan problematika naksir-diam-diam, terjebak-zona-kakak-adik, labrak-melabrak-senior-junior, atau pelanggaran-nilai-dan-norma-sosial-dengan-ancaman-dikeluarkan. Ternyata bukan Nicholas yang kelewat pintar, memang akunya yang lengah dan bodoh.

"Lo berdua kemana? Enggak ada yang bales chat. Kita semua bingung nyariin."

Kedatangan kami langsung disambut dua plastik besar berisi makanan sampah, atau junkfood kalau mau bahasa kerennya, serta tiga bentukan manusia yang mendalami prosedur makan kentang dicocol es krim, dan satu manusia lain yang sibuk menyabotase semua saos sambal sachet jatah teman-temannya. Tak lupa tentu saja, senyum-senyum mesum penuh arti yang dilontarkan kaum Adam kepada Nicholas.

"Tadi Eva mau minjem barang. Tapi gue lupa naronya di mana. Jadi lama nyarinya," jawab Nicholas tanpa ekspresi yang berarti.

"Ooo. Kirain ena-ena," sahut Machmudin.

Setelah tuduhan tidak bertanggung jawab Udin, tidak ada lagi pertanyaan lanjutan. Aku sebisa mungkin menghindari Nicholas, menyibukkan diri untuk mengobrol dengan Sasa. Cewek itu berbaik hati memberikan semua kentangnya padaku. Katanya, mereka semua memutuskan untuk membelikanku dan Nicholas dua kentang karena bingung mau membeli apa. Walau perutku menolak, aku pun terpaksa memakannya sedikit demi terlihat sopan. Lain kali aku harus mengimbangi tiga gelas kopi pahit dengan makanan yang cukup, supaya lambungku tidak sekarat seperti sekarang.

Ketika akhirnya semua selesai makan, Nina kembali muncul sebagai sutradara. Untungnya ia tak lagi memerintah kami seenak udel, mengulang adegan ini dan itu dengan sempurna tanpa cacat sedikit pun. Cewek itu hanya berpesan untuk menghapalkan lagi naskah masing-masing dan mengingatkan iming-iming janji dari pak guru ganteng.

Tak lama, rombongan pun bubar dan bersiap ke rumah masing-masing. Butuh waktu setengah jam sampai semua pemain minggat, menyisakan aku dan Nicholas di rumah raksasa milik keluarganya.

Nicholas memberikan gestur tangan agar aku mengikuti langkahnya. Kami sampai di kamar cowok itu, terletak tak jauh dari ruang kerja orang tuanya tadi. Aku menunggu dengan sabar. Mataku dengan lahap menelan seisi ruangan persegi panjang. Dindingnya dicat biru, bermotif garis-garis putih, dan ditutupi poster The Beatles di beberapa sisi. Seprai dan karpetnya didekorasi motif Star Wars. Ada banyak koleksi Lego di lemari kaca juga beberapa action figure tokoh kartun terkenal. Buku-bukunya tersusun rapi di atas rak, kebanyakan terdiri dari novel dan majalah National Geographic. Pun sebuah gitar yang bersandar di samping meja belajarnya sama sekali tidak menggambarkan sosok Novellus yang kuingat. Sosok yang begitu sombong dan percaya diri di tengah-tengah tetua yang berkuasa. Tetua yang aku yakin punya hutang darah yang tak terbayar di tiap embusan napas mereka.

"Kenapa kamu diem aja? Kamu udah curiga sama identitasku dari awal."

Aku memeluk map tebal yang cowok itu berikan. Terdapat tiga map, satu di antaranya terasa tua dan berdebu. Tentu saja, tak satu pun dari map itu punya karakteristik khusus seperti harapanku; tidak ada lambang organisasi dengan semboyan "Virtute est Absolutus" di sekelilingnya, pun warna mapnya hanya cokelat polos tanpa motif atau ukiran tertentu.

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang